Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Buah Luhut Jelaskan Kronologi Keterkaitan Bosnya dengan Bisnis PCR PT GSI

Kompas.com - 09/11/2021, 05:06 WIB
Ade Miranti Karunia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

Setelah alat datang tulis dia, bukan berarti barang bisa langsung digunakan, karena harus menunggu reagen PCR-nya datang. Baru awal Mei, reagen datang. Namun ternyata hal itu belum selesai, karena lab kemudian menyampaikan bahwa mereka butuh VTM (Viral Transport Medium), yakni alat untuk menampung hasil swab yang akan mendeaktifkan virusnya sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA.

"Long story short, berbagai perintilan barang itu bisa kita dapatkan dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan tes. Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 tes per hari. Jauh dari target yang kita minta yaitu 700-1.000 tes per hari," paparnya.

Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang dipesan dari Roche ternyata tidak bisa didapatkan karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga.

"Kita waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagennya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri," kata Seto.

Menurut dia, selama beberapa bulan, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk tes PCRnya. "Saya bersama beberapa teman akhirnya putar otak ke Tiongkok, kita carilah alat ekstraksi RNA dan reagennya. Setelah tanya sana sini, dapatlah satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas disana. Jadi semacam badan usahanya yang bergerak di bidang bioteknologi," ungkapnya.

Baca juga: Dilaporkan ke KPK Karena Dituding Punya Bisnis PCR, Luhut Tak Gentar

Seto menyebutkan, alat ekstraksi RNA produk perusahaan China itu harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3.

"Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNAnya. Yang lebih menarik, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system). Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia," katanya.

Sebelum memutuskan beli sebut dia, pihaknya meminta FKUI untuk melakukan pengujian terhadap barang-barang ini. "Hasilnya di luar dugaan kami cukup baik. Alat ekstraksi RNAnya mudah digunakan, dan bisa melakukan ekstraksi dalam waktu 1 jam. Reagen PCRnya pun ternyata memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan yang beredar di pasaran pada waktu itu," sebut Seto.

Dengan suplai baru dari China tersebut, dari awalnya akan memberikan alat PCR dan alat ekstraksi RNA beserta reagen-reagennya untuk 10.000 tes buat masing-masing lab sesuai denan kecukupan donasi yang Luhut dan teman-temannya, pihaknya akhirnya bisa memberikan reagen yang lebih banyak.

"Pak Luhut kemudian juga menerima telepon dari teman-teman beliau di Tiongkok yang mau menyumbang untuk penanganan Covid-19 di Indonesia, sehingga kita bisa memperoleh lebih banyak reagen. Satu lab saat itu saya kira bisa menerima 30.000 sampai 50.000 reagen PCR dan ekstraksi RNA untuk melakukan tes ini. Setelahnya, kami minta lab-lab tersebut harus bisa mandiri. Kita tidak bisa mensupport seterusnya karena donasi yang terbatas," papar dia.

Baca juga: Soal Tuduhan Keruk Untung Bisnis PCR, Luhut Cium Ada Motif Politik

Lahirnya GSI

Seto mengaku bercerita panjang lebar mengenai hal itu karena ingin menginformasikan bagaimana susahnya situasi dan keterbatasan tes PCR saat itu. Kemudian banyak pihak yang bergotong royong untuk membantu pemerintah meningkatkan kapasitas PCR saat itu. Misalnya Kementerian BUMN, membeli cukup banyak alat PCR saat itu.

"Lalu Pak Luhut dan teman-temannya juga memberikan donasi yang nilainya cukup besar untuk meningkatkan kapasitas PCR di banyak fakultas kedokteran di Indonesia, dan saya yakin banyak pihak lain yang juga berusaha keras untuk membantu dengan berbagai cara supaya kapasitas tes Covid-19 melalui PCR di Indonesia pada waktu itu bisa ditingkatkan. Kami tidak ada memikirkan untung-rugi waktu itu," tegas dia.

Seto memaparkan, dalam perjalanan mencari alat PCR untuk donasi ke para lab di kampus-kampus saat itu, salah satu teman Luhut mengajak untuk ikut berpartisipasi dalam pendirian lab tes Covid-19 yang memiliki kapasitas tinggi (5.000 tes per hari) dan bisa melakukan genome sequencing (belakangan ini kemudian sangat berguna untuk mendeteksi varian delta dan layanan ini diberikan gratis kepada Kemenkes untuk mendeteksi varian baru).

"Usul saya ke Pak Luhut, 'kita ikut berpartisipasi untuk pendirian lab ini'. Maka tanpa pikir panjang, Pak Luhut menyampaikan ke saya, 'kita bantu lah to mereka ini'. Akhirnya melalui Toba Sejahtra (yang memiliki dana untuk kebutuhan ini), Pak Luhut ikut mendukung pendirian lab tersebut. Maka lahirlah GSI, setelah itu, kami tidak monitor lagi mengenai GSI ini," kata Seto.

Baca juga: Profil PT GSI, Perusahaan Milik Luhut yang Berbisnis PCR

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com