Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Buah Luhut Jelaskan Kronologi Keterkaitan Bosnya dengan Bisnis PCR PT GSI

Kompas.com - 09/11/2021, 05:06 WIB
Ade Miranti Karunia,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

Kewajiban tes PCR

Dalam tulisannya, Seto juga menjelaskan mengenai kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat di tengah kasus yang menurun.

Menurut dia, hal itu diusulkan dirinya berdasarkan data yang menunjukkan ada peningkatan risiko penularan. "Nah 1-2 minggu sebelum kebijakan PCR untuk penumpang pesawat ini diberlakukan, kita melihat ada peningkatan risiko tersebut. Indikator mobilitas yang kami gunakan menunjukkan peningkatan yang signifikan," sebut dia.

Dia membeberkan contoh di Bali. Bahwa data mobilitas minggu ketiga Oktober 2021 menunjukkan level yang sama dengan liburan Nataru (Natal dan Tahun Baru) tahun 2020.  Kemudian dari hasil pengecekan tim yang dikirimnya, terjadi penurunan disiplin protokol kesehatan.

"Peduli Lindungi hanya sebagai pajangan, terutama di tempat-tempat wisata dan bar. Bahkan salah satu tim saya berhasil memfoto pasangan yang bebas berciuman di dalam salah satu bar/kafe," sebutnya.

Pertimbangan lainnya, adanya peningkatan kasus yang luar biasa akibat varian Delta di negara-negara lain, akibat relaksasi aktivitas dan protokol kesehatan karena merasa tingkat vaksinasi dosis kedua sudah di atas 60 persen. Dia menhyebutkan Singapura, Jerman, hingga sebagai contohnya.

Sementara Indonesia tingkat vaksinasi dosis 2 saat ini baru sekitar 36 persen, dan sudah melakukan relaksasi aktivitas masyarakat secara luas.

Selain itu, vaksinasi tidak sepenuhnya bisa mencegah penularan kasus. Hal itu kata Seto, bisa dilihat dari negara-negara yang disebutkan  di atas yang memiliki cakupan dosis 2 di atas 60 persen, namun kasus Covid-19 mereka meningkat signifikan.

"Vaksinasi akan mengurangi risiko Anda jika terkena Covid-19 harus dirawat di RS, muncul gejala atau bahkan kematian. Anda masih bisa terkena Covid-19, tidak bergejala, dan masih menularkan ke pihak lain, meskipun sudah di vaksin. Ada banyak riset ilmiah yang mendukung hal tersebut," sebut dia.

Baca juga: Jika Bisnis PCR Luhut Tujuannya Amal, Kenapa Tidak Melalui Yayasan?

Conflict of interest dan ongkos Rp 5,6 triliun

Seto mengakui adanya Luhut yang merupakan Koordinator PPKM Jawa Bali di GSI memang bisa menimbulkan potensi konflik kepentingan.

"Memang saya akui saya kurang hati-hati dalam mengingatkan Pak Luhut terkait dengan saham GSI sehingga muncul potensi conflict of interest ini buat pak Luhut (jujur saya sendiri juga lupa kalau Toba Sejahtera berpartisipasi di GSI)," sebutnya.

Tetapi lanjut dia, memang kondisi pada saat GSI didirikan saat itu membutuhkan keputusan yang cepat terkait peningkatan kapasitas tes PCR tersebut.

"Kemudian, ketika Pak Luhut menjadi koordinator PPKM Jawa Bali, setiap keputusan yang diambil didasarkan kepada usulan kami atas analisis data dan situasi, sehingga kondisi Covid19 di Jawa Bali bisa lebih baik. Tidak ada sedikitpun keraguan dalam hati saya terkait hal ini. Tidak ada satupun keputusan yang diambil oleh Pak Luhut yang kami usulkan, karena mengedepankan kepentingan GSI, termasuk usulan mengenai PCR untuk penumpang pesawat," tegas Seto.

Seto menyebutkan, pihaknya melihat ada risiko peningkatan kasus, sehingga ingin ada langkah preventif, bukan reaktif seperti yang dilakukan sebelumnya. Menurut dia, bila terjadi peningkatan kasus dan harus ada pengetatan macam PPKM Darurat, biayanya sangat besar.

"Hasil hitungan kami, biaya langsung untuk perekonomian setiap 1 minggu dilakukan PPKM Darurat, adalah sekitar Rp 5,2 triliun. Itu belum termasuk korban jiwa yang tidak bisa dihitung secara moneter," katanya.

Mengenai harga PCR, Seto menilai bahwa hal itu tidak bisa dibandingkan situasi saat ini dengan situasi pada awal-awal pandemi.

"Bagaimana susahnya mencari alat PCR, ekstraksi RNA, reagen, sampai harus rebutan dengan negara lain. Saat ini kondisi suplainya jauh lebih baik, sehingga ketersediaan alat dan reagen lebih banyak dan lebih murah," sebut dia.

"Selain itu, terkait harga PCR, hal tersebut bukan wewenang Pak Luhut dalam memutuskan. Evaluasi dilakukan secara berkala oleh Kemenkes dan BPKP. Semuanya melalui proses pemeriksaan di BPKP untuk kemudian memberikan masukan kepada Kemenkes lalu kemudian diputuskan," demikian Deputi Koordinasi Bidang Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto.

Baca juga: Kenapa Luhut dkk Pilih Dirikan PT untuk Donasi Tes PCR?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com