SAYA mungkin sedikit dari ribuan korban Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang menggantungkan biaya kelangsungan pendidikan putra-putri melalui program Beasiswa Berencana perusahaan asuransi itu.
Selama bertahun-tahun istri saya setiap bulan menyisihkan penghasilan saya dari mengajar di berbagai kampus dan honor konsultan dari beragam pekerjaan di luar kota untuk membayar premi asuransi tanpa telat.
Saat anak kami menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah atas pada 2019 dan hendak melanjutkan kuliah, Bumiputera gagal membayar polis. Uang asuransi pendidikan anak kami sebesar Rp 140 juta tak bisa dicairkan.
Sejak tiga tahun terakhir ini, ada sekitar 500 ribu klaim pemegang polis yang telah habis masa kontraknya tidak bisa dibayar manajemen Bumiputera.
Jika diakumulasikan, dana yang tidak bisa dicairkan para pemegang polis sedikitnya mencapai Rp 9 triliun.
Baca juga: Ada Potensi Klaim Rp 9,6 Triliun, Bagaimana AJB Bumiputera Membayarnya?
Marah, kecewa, dan prihatin mengingat Bumiputera dalam sejarah pendiriannya bukanlah perusahaan abal-abal. Yang abal-abal adalah para direksi dan manajemennya. Mereka menjerumuskan perusahaan ke lembah pesakitan.
Mungkin karena bukan BUMN sehingga sepak terjang manajemen Bumiputera lolos dari radar pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti asuransi.
Memang status Bumiputera bukan berbentuk perseroan terbatas tapi perusahaan swasta murni yang berbentuk mutual.
Bentuk badan usaha ini memiliki konsekuensi pada pengelolaan usaha dan posisi pemegang polis. Pemegang polis menjadi pemilik perusahaan. Dengan status ini peserta atau pemegang polis terikat tanggung jawab hukum sebagaimana pemilik suaha pada badan hukum perseroan terbatas.
Sebagai pemilik usaha, pemegang polisi memiliki kewenangan besar menentukan arah Bumiputera. Sesuai Anggaran Dasar Bumiputera, kewenangan pemegang polisi diwakilkan oleh Badan Perwakilan Anggota (BPA).
Persoalan utamanya, BPA yang dipilih berdasarkan perwakilan wilayah dan atas restu kepala kantor wilayah Bumiputera “umumnya” berkoalisi dengan pihak manajemen dan direksi sehingga tidak memungkinkan terjadinya good coorporate governance.
Terbukti dari tahun-ketahun, Bumiputera menjalankan usaha “gali lubang tutup lubang” tanpa ada ketegasan dari regulator atau pengawas. Anehnya kebobrokan ini didiamkan terlalu lama dan menjadi bom waktu.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.