Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Bumiputera, Jiwasraya, dan Asabri: Salah Urus, Salah Kaprah, dan Salah Rezim

Kompas.com - 11/11/2021, 11:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAYA mungkin sedikit dari ribuan korban Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 yang menggantungkan biaya kelangsungan pendidikan putra-putri melalui program Beasiswa Berencana perusahaan asuransi itu. 

Selama bertahun-tahun istri saya setiap bulan menyisihkan penghasilan saya dari mengajar di berbagai kampus dan honor konsultan dari beragam pekerjaan di luar kota untuk membayar premi asuransi tanpa telat. 

Saat anak kami menyelesaikan pendidikannya di sekolah menengah atas pada 2019 dan hendak melanjutkan kuliah, Bumiputera gagal membayar polis. Uang asuransi pendidikan anak kami sebesar Rp 140 juta tak bisa dicairkan.  

Sejak tiga tahun terakhir ini, ada sekitar 500 ribu klaim pemegang polis yang telah habis masa kontraknya tidak bisa dibayar manajemen Bumiputera.

Jika diakumulasikan, dana yang tidak bisa dicairkan para pemegang polis sedikitnya mencapai Rp 9 triliun.

Baca juga: Ada Potensi Klaim Rp 9,6 Triliun, Bagaimana AJB Bumiputera Membayarnya?

Marah, kecewa, dan prihatin mengingat Bumiputera dalam sejarah pendiriannya bukanlah perusahaan abal-abal. Yang abal-abal adalah para direksi dan manajemennya. Mereka menjerumuskan perusahaan ke lembah pesakitan. 

Mungkin karena bukan BUMN sehingga sepak terjang manajemen Bumiputera lolos dari radar pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

OJK adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan baik di sektor perbankan, pasar modal, dan sektor jasa keuangan non-bank seperti asuransi.

Perusahaan swasta murni

Memang status Bumiputera bukan berbentuk perseroan terbatas tapi perusahaan swasta murni yang berbentuk mutual.

Bentuk badan usaha ini memiliki konsekuensi pada pengelolaan usaha dan posisi pemegang polis. Pemegang polis menjadi pemilik perusahaan. Dengan status ini peserta atau pemegang polis terikat tanggung jawab hukum sebagaimana pemilik suaha pada badan hukum perseroan terbatas.

Sebagai pemilik usaha, pemegang polisi memiliki kewenangan besar menentukan arah Bumiputera. Sesuai Anggaran Dasar Bumiputera, kewenangan pemegang polisi diwakilkan oleh Badan Perwakilan Anggota (BPA).

Persoalan utamanya, BPA yang dipilih berdasarkan perwakilan wilayah dan atas restu kepala kantor wilayah Bumiputera  “umumnya” berkoalisi dengan pihak manajemen dan direksi sehingga  tidak memungkinkan terjadinya good coorporate governance.

Terbukti dari tahun-ketahun, Bumiputera menjalankan usaha “gali lubang tutup lubang” tanpa ada ketegasan dari regulator atau pengawas. Anehnya kebobrokan ini didiamkan terlalu lama dan menjadi bom waktu. 

Kolase foto 3 eks petinggi PT Asuransi Jiwasraya (dari kiri ke kanan) eks Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, eks Direktur Keuangan Jiwasraya Harry Prasetyo, dan eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan.ANTARA FOTO Kolase foto 3 eks petinggi PT Asuransi Jiwasraya (dari kiri ke kanan) eks Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim, eks Direktur Keuangan Jiwasraya Harry Prasetyo, dan eks Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan.
Sejak 1997

Betapa tidak, kasus “hancur-hancuran” Bumiputera ternyata sudah berlangsung sejak 1997.  Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ketika itu (sebelum  ada institusi OJK) sebenarnya sudah mendeteksi kasus ini.

Kerugiannya membengkak dari tahun ke tahun. Periode 1997–2002 terdata ada defisit Rp 2,07 triliun, di periode 2002-2010 defisit makin membesar menjadi Rp 4,94 triliun.  Sementara, di rentang 2010–2014 defisit kian membengkak menjadi Rp 9,25 triliun.

Defisit terus bertambah di tahun-tahun berikutnya: 2014–2016 melonjak Rp 13,46 triliun, 2016–2018 bertambah lagi menjadi Rp 18,9 triliun, dan terakhir di 2021 berlipat defisitnya menjadi Rp 21,6 triliun.

Kasus Bumiputera yang dibiarkan berlarut-larut bisa menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan asuransi. Apalagi, selain Bumiputera ada juga kasus yang lebih besar yaitu Jiwasraya dan Asabri. 

Kasus Bumiputera  akan menjadi lebih besar lagi dan merugikan semakin banyak nasabah. Bumiputera bisa menjadi episentrum dari catastrophe atau kehancuran indusri asuransi. Sesuatu yang harus dicegah, jangan sampai terjadi (Infobanknews.com, Agustus 2021).

Pertanggungjawaban hukum yang dilakukan baru sebatas penahanan Ketua BPA periode 2018-2020 Nurhasanah. Ia ditahan sejak 29 Juni 2021.

Baca juga: Ditetapkan Jadi Tersangka Kasus Bumiputera, Siapa Nurhasanah?

Pemerintah memang tidak bisa diharap menalangi seluruh kerugian Bumiputera mengingat Bumiputera adalah perusahaan swasta murni berbentuk badan hukum usaha bersama. Tetapi setidaknya tidak melepaskan peran pengawasan OJK selama ini.

Mega skandal Jiwasraya dan Asabri 

Kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) mirip Bumiputera. Praktik salah kelola Jiwasraya sudah terjadi sejak 2006. Kementerian BUMN dan Bapepam menyatakan ekuitas Jiwasraya defisit Rp 3,26 triliun.

Baca juga: Vonis Lengkap 6 Terdakwa Jiwasraya yang Diganjar Hukuman Seumur Hidup

Pada 2008 Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer alias tidak menyatakan pendapat untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.

Defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp 5,7 triliun pada 2008 dan Rp 6,3 triliun pada 2009.

Di rentang 2010-2012 Jiwasraya melanjutkan skema reasuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp 1,3 triliun pada akhir 2011.

Kepala Biro Perasuransian Isa Rachmatawarta menyebut, metode reasuransi merupakan penyelesaian sementara terhadap seluruh masalah. Sebab, keuntungan operasi dari reasuransi cuma mencerminkan keuntungan semu dan tidak memiliki keuntungan ekonomis.

Pada Mei 2012,  permohonan perpanjangan reasuransi ditolak. Laporan keuangan Jiwasraya 2011 disebut tidak mencerminkan angka yang wajar.

Pada 2012, Bapepam-LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan pada 18 Desember 2012. JS Proteksi Plan dipasarkan melalui kerja sama dengan bank (bancassurance). Produk ini ikut menambah sakit perseroan lantaran menawarkan bunga tinggi, yakni 9 persen hingga 13 persen.

Di tengah permasalahan keuangan, Jiwasraya malah “gagah-gagahan” menggelontorkan dana sponsor untuk klub sepakbola asal Inggris, Manchester City pada 2014.

Periode Oktober-November 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai tercium publik. Perseroan mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp 802 miliar.

Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas (RBC) 120 persen. 

Tidak hanya itu, aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp 23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp 50,5 triliun.

Akibatnya, ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp 27,24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp 15,75 triliun.

Pada 2019, Menteri BUMN Erick Thohir  melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung.

Hal itu dilakukan setelah pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai tidak transparan.

Selain itu juga disinyalir investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham gorengan. Hal ini yang menjadi satu dari sekian masalah gagal bayar klaim Asuransi Jiwasraya.

Selain Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta juga menaikkan status pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan kasus dugaan korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga ikut memantau perkembangan penanganan perkara kasus dugaan korupsi di balik defisit anggaran Jiwasraya (Cnnindonesia.com, 8 Januari 2020).

Terdakwa kasus dugaan korupsi Asabri, mantan Dirut Asabri periode 2016-2020 Sonny Widjaja (kiri) dan mantan Dirut Asabri periode 2011-2016 Adam Damiri (kanan) mengikuti sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (16/8/2021). Sidang perdana kasus dugaan korupsi Asabri digelar dengan agenda pembacaan dakwaan. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.ANTARA FOTOT/Akbar Nugroho Gumay Terdakwa kasus dugaan korupsi Asabri, mantan Dirut Asabri periode 2016-2020 Sonny Widjaja (kiri) dan mantan Dirut Asabri periode 2011-2016 Adam Damiri (kanan) mengikuti sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (16/8/2021). Sidang perdana kasus dugaan korupsi Asabri digelar dengan agenda pembacaan dakwaan. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/rwa.

Lebih “ambyar” lagi, aksi garong uang rakyat juga terjadi di PT Asabri (Persero) yang mengelola dana pensiun TNI dan Polri.

Manajemen Asabri sejak 2011 bekerjasama dengan pihak swasta yang bukan berlatar belakang manajer investasi. Penempatan dana tidak dilakukan berdasarkan analisis data. Kongkalikong ini memanipulasi investasi dalam bentuk saham dan reksadana.

Penempatan dana Asabri ke saham-saham milik para partner ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik.

Baca juga: Asabri Tagih Hasil Investasi, Benny Tjokro Bayar Pakai Kavling Senilai Rp 732 Miliar

Setelah saham-saham ini masuk sebagai portofolio Asabri, kemudian ditransaksikan dan dikendalikan oleh “para penggarong” tersebut.

Berdasarkan kesepakatan, saham tersebut harus terlihat likuid dan bernilai tinggi. Nyatanya, transaksi yang dilakukan semu, menguntungkan pihak penggarong dan merugikan Asabri.

Akibat investasi ”asal-asalan” ini, kerugian negara mencapai Rp 23,73 triliun berdasarkan hasil audit BPK (Cnbcindonesia.com, 2 Februari 2021).

Penggarong pesta pora, rakyat menderita

Kasus Bumiputera, Jiwasraya, dan Asabri yang notabene bergerak di bidang asuransi dan pengelolaan dana terjadi karena salah kelola dan salah urus dewan direksi dan komisaris.

Pemerintah sebagai regulator salah kaprah. Rezim yang berkuasa juga salah karena kasus ini dibiarkan berlarut-larut sejak lama. 

Kasus-kasus besar ini sepertinya tidak dijadikan pelajaran. Kasus yang membelit Garuda coraknya sama: salah urus dan dibiarkan sejak lama. Fungsi pengawasan tidak berfungsi. 

Rakya kecil yang jadi korban dan berharap dapat keadilan harus menunggu proses hukum yang begitu lama dengan segala formalitasnya.

Penggarong sudah berpesta pora dengan uang rakyat sementara korban terus menunggu sambil berharap cemas masih adakah remah-remah pesta tersisa buat mereka?

Sabar, sabar, sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang

Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi, teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan, hentikan jangan diteruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan

(Lirik lagu Bongkar karya Iwan Fals)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com