MENIKAH dan menjadi suami istri adalah keputusan besar bagi setiap pelakunya, dengan konsekuensi sampai ke urusan keuangan dan perpajakan.
Kesepakatan dan keputusan yang dibuat suami istri terkait urusan keuangan akan turut menentukan nominal pajak terutang yang harus dibayar ke negara.
Besaran penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk suami istri pun akan tergantung pada kesepakatan dan keputusan yang dibuat berdua.
Buat catatan, seorang istri atau perempuan dalam pernikahan tetap punya pilihan menjalankan kewajiban perpajakan terpisah. Tentu, masing-masing ada plus minus dari pilihan yang dibuat.
Baca juga: Cek, Penghasilan Tak Kena Pajak untuk Orang Lajang dan Pasangan Cerai
Tulisan ini akan membahas skenario-skenario perpajakan suami istri, untuk mereka yang sama-sama bukan pekerja lepas serta bukan pengusaha dalam kategori sesuai PP Nomor 23 Tahun 2018—termasuk UMKM—apalagi pemilik usaha berstatus badan hukum.
Artinya, ini baru soal suami istri yang masing-masing sumber penghasilannya adalah dari pemberi kerja, alias berstatus karyawan atau pegawai.
Acuan perhitungan pajak penghasilan suami istri dalam konteks tulisan ini merujuk pada ketentuan Pasal 8 UU PPh yang tidak mengalami perubahan di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Adapun lapisan dan besaran tarif PPh atas penghasilan kena pajak (PKP) yang dipakai untuk konteks tulisan ini adalah Pasal 17 UU PPh beserta perubahannya di UU HPP.
Baca juga: Kapan Aturan Baru Pajak UU HPP Berlaku?
Pajak penghasilan orang pribadi, baik lajang maupun menikah, yang punya usaha perorangan dan badan akan dibahas dalam tulisan terpisah.
Setidaknya ada tiga skenario yang akan menentukan besaran PTKP, penghasilan kena pajak (PKP), dan akhirnya nominal pajak penghasilan terutang untuk suami istri. Ketiga skenario itu adalah:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.