Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rajutan Asa Penenun Desa Sade

Kompas.com - 15/11/2021, 15:35 WIB
Kiki Safitri,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

LOMBOK TENGAH, KOMPAS.com – Kondisi pandemi Covid-19 yang berlangsung dua tahun terakhir memukul pariwisata dan bisnis, termasik sektor ekonomi kreatif.

Sebagai salah satu kota tujuan wisata, Desa Sade di Rembitan, Kecamatan Pujut, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, juga menjadi salah satu kawasan pariwisata yang terdampak pandemi.

Saat Kompas.com berkunjung ke Desa Sade pekan lalu, tidak banyak wisatawan yang datang untuk berkunjung seperti sebelum pandemi Covid-19. Hal ini berdampak kepada warga desa tersebut yang menggantungkan hidup pada produk kain tenun.

Kerajinan yang diproduk di Desa Sade yaitu kerajinan tangan tenun, mulai dari tenun ikat hingga tenun songket, turut berkurang pembelinya. Hal ini karena pembeli yang datang berkunjung juga mengalami penurunan. Bahkan Desa Sade sempat ditutup untuk wisatawan selama kurang lebih 3 bulan.

Baca juga: Menjaring Cuan Bisnis di Usia Senja

Penenun Suku Sasak

Fanani (28 tahun), penenun Desa Sade mengungkapkan sulitnya menjual hasil tenun yang ia buat saat penutupan pariwisata beberapa waktu lalu. Ia bahkan kehilangan lebih dari separuh omzetnya dibandingkan sebelum pandemi Covid-19.

“Waktu itu (omzet) berkurang karena biasanya dalam sebulan bisa dapat sekitar Rp 3 juta sampai Rp 4 juta. Saat pandemi berkurang sekali, paling bisa dapat Rp 1 juta,” kata Fanani saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu (13/11/2021).

“Hasil dari tenun ini, juga dibagi ke keluarga. Tapi di dua bulan terakhir ini sudah mulai banyak yang datang mulai lumayan lah. Semoga bisa terus seperti ini, karena kemarin saat ada penutupan 3 bulan bantuan juga tidak merata,” sambungnya.

Fanani mulai belajar tenun sejak usia 9 tahun. Profesi turun-temurun yang telah dijalani 19 tahun oleh Fanani ini, juga dilakukan oleh saudaranya yang juga perempuan. Bagi Suku Sasak, pekerjaan menenun merupakan profesi yang sangat membanggakan bagi wanita.

Namun demikian, wanita Suku Sasak masih mengalami keterbatasan karena pada umumnya hanya boleh mengemban pendidikan hingga tingkat SMA atau SMK. Walau demikian, profesi penenun juga menghasilkan, karena hasil tenun juga menjadi favorit banyak turis asing.

“Karena memang pekerjaan perempuan di sini adalah menenun, dan perempuan di sini juga tidak dibolehkan kerja keluar. Sekolah juga hanya sampai SMA atau SMK. Syukurnya, sudah banyak yang membeli tenun ini, dan sangat disukai oleh turis asing, dan lokal. Tapi memang ini pekerjaan kami, yang penting ada pemasukan,” jelas dia.

Fanani menjelaskan, awalnya ia belajar menenun dari irisan daun pisang atau daun kelapa. Ia mulai belajar tenun sederhana selama 3 sampai 4 hari. Kemudian, ia mencoba untuk menenun motif dengan kurun waktu yang lebih dari dua pekan.

Baca juga: Mengecap Manisnya Budidaya Lebah Madu di Halaman Rumah

Merajut asa

Di Desa Sade, banyak ibu-ibu rumah tangga yang berprofesi mengolah hasil alam untuk dijadikan pakaian ataupun aksesoris. Orang-rang tua juga kebanyakan memintal buah kapas menjadi benang untuk untuk bahan tenun. Pewarnaan juga masih alami dan berasal dari buah ataupun daun-daunan.

“Menenun ini proses terakhir, awalnya itu dari kapas yang dipintal jadi benang. Itu orang tua-orang tua kami yang bisa,” jelas dia.

Untuk harga, Fanani membedakan harga berdasarkan penggunaan benang, lama pembuatannya, dan tingkat kerumitannya. Untuk produk kain dengan satu hari pengerjaan harganya dibandrol antara Rp 100.000 hingga Rp 300.000. Sementara untuk lama pengerjaan lebih dari 1 bulan dengan penggunaan benang yang banyak harganya bisa mencapai Rp 1 juta.

“Kalau kain yang simpel dengan pengerjaan 1 hari bisa harganya Rp 100.000, tapi kalau songket atau yang pengerjaannya sampai 5 hari harganya sekitar Rp 300.000, dan yang lebih mahal ada namanya Songket Subanale yang pengerjaannya 1-2 bulan, dan harganya mencapai Rp 1 juta,” ucapnya.

Di Desa Sade, tidak hanya ditemukan kerajinan songket atau kain mentahan saja, namun produk–produk ini juga sudah ada yang berbentuk busana.

Selain itu, beberapa kerajinan seperti gelang, tas rotan, hiasan, pernak – pernik dan kaos juga tersedia sebagai sovenir bagi wisatawan. Harganya mulai dari Rp 10.000 saja.

Oleh karena itu, ibu dua anak ini hanya berharap agar pandemi Covid-19 bisa segera berlalu dan wisatawan bisa kembali lagi datang berkunjung ke Desa Sade. Dengan begitu pandapatan penenun Desa Sade pun bisa berangsur pulih.

Baca juga: Dulu Lahan Rawan Kebakaran, Kini Jadi Pertanian Nanas yang Bawa Cuan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com