Untuk pelaku usaha dan pekerja bebas—baik orang pribadi maupun badan—yang kedapatan dalam pemeriksaan pajak ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau bukti-bukti pendukungnya, penghasilan netonya juga dihitung menggunakan NPPN.
Payung hukum teknis untuk NPPN hingga tulisan ini tayang adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang NPPN.
Besaran NPPN ditentukan berdasarkan wilayah dan jenis usaha wajib pajak. Beda lokasi, bisa beda besaran. Satu lokasi tetapi jenis usahanya berbeda, bisa beda juga besaran NPPN-nya. Beda lokasi dan beda jenis usaha, jelas bisa berbeda besaran NPPN-nya.
Pengelompokan wilayah untuk persentase NPPN:
Daftar persentase NPPN bagi wajib pajak orang pribadi berdasarkan jenis usaha dan pengelompokan wilayah, dapat dilihat di link ini.
Untuk wajib pajak orang pribadi yang "bermasalah" dengan pembukuan dan karenanya dikenakan NPPN untuk perhitungan PPh-nya, besaran persentase NPPN untuk perhitungan penghasilan neto bisa dilihat di link ini.
Untuk wajib pajak badan yang "bermasalah" dengan pembukuan dan karenanya dikenakan NPPN untuk perhitungan PPh-nya, besaran persentase NPPN untuk perhitungan penghasilan neto bisa dilihat di link ini.
Cara hitung PPh menggunakan NPPN:
Pembukuan adalah data dan informasi keuangan yang dikumpulkan dan dicatatkan secara teratur, yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan (laba/rugi).
Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas serta wajib pajak badan di Indonesia pada dasarnya wajib melakukan pembukuan.
Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas serta wajib pajak badan di Indonesia pada dasarnya wajib melakukan pembukuan. Perkecualian dari kewajiban menyelenggarakan pembukan hanya diberikan kepada:
Ketiga perkecualian di atas wajib menyelenggarakan pencatatan. Khusus untuk wajib pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu tetap dapat memilih menyelenggarakan pembukuan sekalipun masuk dalam pengecualian diwajibkan.
Bersama kewajiban melakukan pembukuan, wajib pajak yang dikenai kewajiban atau memilih menyelenggarakan pembukan juga harus menyimpan segala catatan dan bukti penunjangnya selama 10 tahun ke depan. Lokasi penyimpanan ditentukan:
Wajib pajak orang pribadi yang mulai Tahun Pajak 2022 telah menyelenggarakan pembukuan tidak dapat lagi memilih menggunakan pencatatan dan tidak bisa memilih menghitung penghasilan neto-nya menggunakan NPPN. Ini merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/Tahun 2021.
Bedanya lagi dengan pencatatan, pembukuan untuk tujuan perpajakan harus dibuat menggunakan standardisasi akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali ada peraturan perundangan perpajakan menentukan lain.
Prinsip pembukan yang bisa dipilih adalah:
Pembukuan sekurang-kurangnya mencatat:
Baca juga: Naskah Lengkap UU HPP, Penjelasan, dan Poin-poin Pentingnya
Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.