Oleh: Bernando J. Sujibto*
PANDEMI telah merontokkan semua lini kehidupan sosial kita, khususnya terkait dengan hajat hidup rakyat kecil.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Triwulan 1 tahun 2021 membeberkan pertumbuhan ekonomi Indonesia turun 0,74 persen jika dibandingkan dengan Triwulan 1 tahun 2020.
Kondisi demikian telah mengakibatkan semakin meningkatnya angka pengangguran; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara masif terjadi terhadap pekerja karena banyak perusahaan yang terpaksa tutup akibat terus menerus mengalami kerugian.
Selain itu, sektor riil di lapangan seperti bisnis-bisnis yang menghidupi rakyat secara langsung ikut gulung tikar.
Dalam sebuah kesempatan, dalam perjalanan pulang dari pekerjaan, di tengah rintik hujan November, saya menyimak dengan seksama cerita seorang driver taksi online tentang nasib rekan-rekannya yang kolaps.
Baca juga: Kena PHK karena Pandemi, Siska Sukses Jadi Pengusaha Steak
Sebagai sebuah sampel, dia menceritakan nasib satu grup para driver taksi online yang tergabung dalam satu komunitas. Anggotanya berjumlah 170 orang dan karena pandemi menghantam, yang tersisa hanya 40 orang.
Sebanyak 130 orang dipaksa kehilangan pekerajaan mereka karena mobil mereka diambil oleh pihak sewa guna usaha (leasing).
”Kita dihantam gelombang yang sama, tetapi berbeda perahu,” pungkasnya untuk menegaskan bahwa pandemi memang tidak mengenal sektor dan kelas sosial.
Kita sama-sama berada dalam perahu masing-masing yang oleng. Tetapi, tentu saja, kita tetap harus bangkit bersama, merajut kembali potensi ekonomi dan sosial kebudayaan yang telah menjadi pondasi bagi kehidupan kita bersama.
Di titik ini, sebagai penentu arah dan kebijakan bagi rakyat, negara harus benar-benar hadir menjalankan fungsinya dan mempertegas keberpihakannya kepada rakyat yang selalu bersetia menyokong eksistensi negara kesatuan ini.
Pendekatan pemerintah tentu juga harus berubah dan berenovasi agar kebijakan-kebijakan terkait rakyat kecil bisa terealisasi dengan baik demi masa depan bangsa dan negara.
Karena kemiskinan bukan problem utama yang bisa memperlemah sistem sosial yang lain, seperti akses kepada dunia pendidikan dan akhirnya bermuara kepada kesempatan bekerja.
Kita semua sadar bahwa pendidikan dan kemiskinan adalah penyakit laten dan paling merusak bagi sebuah bangsa. Mereka selalu saling berkelit-kelindan: yang miskin susah untuk mendapatkan pendidikan, misalnya untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi.
Dan sebaliknya, yang tidak mendapatkan pendidikan cenderung akan tertinggal dari banyak aspek seperti dunia pekerjaan.
Baca juga: Kisah Arih Lystia, Penyandang Disabilitas yang Sukses sebagai Content Creator Makeup