KEHADIRAN usaha pemeliharaan dan industri pengolahan ikan nila atau tilapia di Danau Toba tak terbantahkan telah memberi nilai ekonomi yang sangat besar kepada masyarakat.
Selain itu, sektor ini juga telah memberikan kontribusi nyata pada Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), kontribusi fiskal pada pemerintah, kontribusi devisa ekspor pada negara, dan kontribusi pada perekonomian nasional via penyediaan ribuan lapangan pekerjaan kepada masyarakat, mulai dari hulu sampai hilir.
Untuk itu, pemerintah perlu melakukan pendekatan yang humanis dan kooperatif kepada seluruh stakeholder sektor perikanan di Danau Toba terkait hadirnya prioritas baru yaitu sektor pariwisata.
Banyak masyarakat di sana yang menggantungkan hidupnya pada pemeliharaan dan industri pengolahan ikan nila. Sementara, sektor pariwisata yang tengah digenjot belum terbukti bisa memberikan pemasukan yang memadai bahkan kesejahteraan kepada masyarakat.
Lihat saja data dari Divisi Kemitraan CARE IPB, yang menyebutkan bahwa Desa Haranggaol di Kabupaten Simalungun sebagai salah satu sentra KJA (keramba jaring apung) di Danau Toba, justru menjadi desa termakmur se-Sumatera Utara. KJA mulai masuk di Haranggaol pada 1990 saat aktivitas perdagangan menurun.
Ketika itu penduduk desa hanya mengandalkan perdagangan dan budidaya bawang merah sebagai sumber pencaharian.
Karena budidaya bawang terkendala oleh wabah penyakit tanaman, penduduk akhirnya beralih kepada budidaya KJA untuk lepas dari kemiskinan.
Hasilnya justru sangat menakjubkan. Desa Haranggaol berhasil menjadikan usaha KJA sebagai sumber kesejahteraan yang jauh melebihi sektor usaha sebelumnya.
Baca juga: Soal Budidaya Ikan, Sedikit Cerita dari Danau Toba...
Sementara data dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Sumatera Utara tahun 2020 menunjukkan bahwa nilai ekonomi KJA di Danau Toba sekitar Rp 3,5 triliun setahun dengan serapan tenaga kerja 12.300-an orang.
Nilai ekonomi tersebut meliputi benih Rp 0,2 triliun, pakan Rp 1,3 triliun, dan hasil produksi ikan Rp 2 triliun. Nilai tersebut di luar distribusi logistik, komunikasi, kuliner ikan, dan usaha terkait lainnya. Perkembangan bisnisnya meningkat setiap tahun sekitar 10-15 persen.
Budidaya KJA di Danau Toba juga ikut mendorong berkembang pesatnya usaha pembenihan di tengah masyarakat, seperti di Simalungun, Deli Serdang, dan Samosir dengan kebutuhan benih 10-15 juta ekor/bulan.
Bahkan, para pembudidaya sampai mendatangkan benih nila dari Sumatera Barat. Menariknya, bisnis KJA Toba justru tidak mati di kala pandemi.
Pangsa pasar memang sempat turun 10-30 persen hanya saat pemberlakukan karantina wilayah, namun sifatnya temporal. Belakangan aktivitasnya sudah mulai dinamis kembali.
Fakta dan data semacam ini perlu diperhatikan pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan ke depan.
Saya yakin, masyarakat bukan tidak bersedia untuk berhenti saat diminta oleh pemerintah, tapi masyarakat memang menerima manfaat yang nyata dari usaha KJA yang justru belum mereka temukan di sektor pariwisata.