Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siswanto Rusdi
Direktur The National Maritime Institute

Pendiri dan Direktur The National Maritime Institute (Namarin), sebuah lembaga pengkajian kemaritiman independen. Acap menulis di media seputar isu pelabuhan, pelayaran, kepelautan, keamanan maritim dan sejenisnya.

Meramal Peruntungan Bisnis Maritim 2022

Kompas.com - 06/12/2021, 06:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KURANG dari tiga puluh hari lagi kita akan menyongsong tahun 2022. Sudah menjadi kelaziman bagi berbagai sektor usaha dan pelakunya melakukan peramalan (forecasting) atas usaha yang mereka geluti tahun depan.

Ramalan ini bahasa kerennya sering diistilahkan outlook.

Sektor usaha kemaritiman jelas tidak ketinggalan dalam menyajikan outlook terkait bisnisnya tahun 2022.

Ramalan ini kemudian muncul di berbagai media. Jelas muncul ke hadapan publik larena disampaikan dalam konferensi pers.

Biasanya, forecasting berisi optimisme. Wajar. Tidak ada lembaga atau orang yang meramalkan peruntungannya akan suram pada masa-masa ke kehadapan.

Namun, outlook yang diketengahkan dapat dipastikan tidak sepenuhnya cerah. Pasalnya, kondisi dunia yang dirundung oleh Covid-19 sejak dua tahun lalu.

Malah saat ini muncul varian terbaru yang dikabarkan lebih mematikan, yaitu Omicron.

Tentu saja suram. Soalnya semua lini usaha, termasuk di bidang kemaritiman, terdampak pandemi selama kurun dimaksud.

Ada banyak usaha yang gulung tikar karenanya. Bagi yang bertahan, mereka tersengal. Dengan keadaan seperti inilah sebagian besar perusahaan menyongsong tahun 2022.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana peruntungan bisnis maritim tahun depan?

Sebelum menguraikan ramalan terkait bidang yang satu ini, saya ingin terlebih dahulu membatasi apa yang dinamai dengan bisnis maritim itu.

Lazimnya, usaha maritim/kemaritiman mencakup pelayaran, pelabuhan dan galangan kapal. Kadang ada pula yang memasukkan usaha pengerahan awak kapal (manning atau crewing).

Belakangan kegiatan logistik – yang mengurusi perpindahan kargo melalui berbagai moda – dianggap juga bisnis maritim. Jadi, tidak ada batasan yang rigid.

Saya mencoba memproyeksikan peruntungan sektor bisnis maritim tersebut tahun depan dalam karangan ini.

Hanya beberapa saja. Seperti galangan kapal, pelayaran dan pelabuhan. Pasalnya, ketiga usaha ini yang paling banyak mendapat perhatian dunia sejak merebaknya virus corona.

Ambil contoh pelayaran wisata atau cruise. Sektor ini membetot perhatian publik internasional ketika operator cruise memulangkan puluhan ribu kru mereka yang terjangkit. Demikian pula penumpangnya.

Sampai saat ini geliat pelayaran wisata masih belum pulih.

Sementara sektor pelabuhan menjadi sorotan dunia karena banyak yang ditutup, khususnya di China, demi meredam penyebaran virus.

Efek langkah ini terasa sampai sekarang. Sebuah portal berita nasional menyebut “kiamat kontainer” untuk mendeskripsikan efek itu.

Pelayaran

Mengingat sektor pelayaran memiliki berbagai sub-sektor seperti dry bulk, tanker, chemical, dll, saya hanya akan fokus pada pelayaran peti kemas.

Bukan apa-apa. Pelayaran peti kemas merupakan primadona dari semuanya. Ia menjadi patokan dalam perdagangan internasional.

Maksudnya begini. Kemampuan negara dalam kancah perdagangan internasional (baca: ekspor dan impor) diukur dalam satuan peti kemas twenty foot equivalent unit atau TEU.

Karenanya sering kita membaca sebuah negara mengimpor/ekspor sekian TEU.

Kekuatan sebuah pelabuhan juga biasanya dikuantifikasi dengan ukuran TEU. Negara ini-itu juga melayani ekspor-impor komoditas seperti biji besi, nikel, gandum dan lain sebagainya dalam jumlah yang masif seringkali tidak menjadi ukuran.

Tentu pernyataan ini tidak ingin mengecilkan kinerja ekspor-impor komoditas tersebut dalam perdagangan luar negeri.

Hanya saja, ya itu tadi, tetap saja berbagai statistik rujukan internasional menomorsatukan perdagangan internasional yang menggunakan peti kemas dalam pencatatannya.

Diramalkan, bisnis pelayaran peti kemas akan tetap bersinar tahun 2022, seperti kondisinya saat ini.

Dilaporkan oleh berbagai media sebelumnya, pelayaran peti kemas membukukan pendapatan sekitar 48,1 miliar dollar AS hingga trisemester 2021.

Pencapaian ini sembilan kali lipat melebihi pendapatan yang diperoleh dalam periode yang sama pada 2020 sebesar 5,1 miliar dollar AS.

Pencapaian spektakuler ini mengalahkan penghasilan yang dibukukan oleh FANG (Facebook, Amazon, Netflix, Google).

Menariknya, pencapaian pada 2020 itu sebetulnya sudah luar biasa bagi pelayaran kontainer. Tidak pernah mereka segemilang itu sebelumnya.

Kok, bisa pelayaran peti kemas menuai cuan sebesar itu, sementara bisnis yang lain terseok-seok?

Saya sederhanakan saja jawabannya. Mereka menari di atas penderitaan orang/bisnis lain yang menderita dihajar pandemi.

Galangan & pelabuhan

Sektor usaha galangan kapal diramalkan akan tetap seperti kondisi sebelumnya yang “hidup segan, mati tak mau”.

Sudah menjadi rahasia umum di kalangan kemaritiman, bisnis galangan kapal sudah sakit jauh sebelum virus corona mengharu-biru.

Begitu parahnya keadaan sektor ini sampai-sampai dua raksasa galangan dunia asal Korea Selatan, Hyundai Heavy Industry (HHI) dan Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering (DMSE), harus merger agar bertahan hidup.

Tetapi, ada blessing in disguise dari aksi korporasi ini.

Gabungan kedua perusahaan itu kini merupakan galangan terbesar di dunia yang menguasai 20 persen order new building.

Sayang, sepak terjang mereka sepertinya harus terhenti sejenak karena berbagai lembaga antitrust masih belum memberikan lampu hijau untuk merger yang dilakukan.

Ditakutkan aksi korporasi shipyard asal Negeri Ginseng itu memicu praktik monopoli.

Adapun usaha pelabuhan masih akan fluktuatif tahun depan. Ada dua faktor yang mempengaruhi outlook sektor ini: perkembangan Covid-19 dan respons China terhadapnya.

Bila pandemi belum usai, apalagi bila varian Omicron yang terus mengganas, lalu satu-dua pekerja pelabuhan atau yang lainnya terjangkit Omicron di China, dapat dipastikan sektor pelabuhan internasional akan terdampak.

Pasalnya, China dipastikan akan me-lockdown pelabuhan atau wilayah terdampak.

Negeri Tirai Bambu itu memang dikenal keras melawan Covid-19. Mereka menerapkan kebijakan zero tolerance terhadap wabah tersebut.

Pokoknya tutup pelabuhan atau wilayah bila terjangkit. Sabodo amat soal ekonomi.

Masalahnya, China merupakan negara pelabuhan yang menjadi tujuan semua main line operator (operator pelayaran peti kemas global) dan operator pelayaran lainnya.

Bila pelabuhan-pelabuhannya ditutup karena wabah, bisa ambyar bisnis mereka.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Karena bisnis maritim itu melintasi batas-batas territorial negara, jelas sektor bisnis yang sama terdampak.

Tetapi sepertinya tidak akan banyak berpengaruh karena pelayaran peti kemas kita, misalnya, hanya feeder di kawasan.

Tidak ada yang berlayar jauh. Kalau di dalam negeri, so-so lah. Sedang bisnis pelabuhan kita masih dalam tahap konsolidasi setelah dimerger.

Jadi mesti menunggu dulu. Untuk galangan nasional diramalkan masih akan tersengal, bahkan bisa jadi makin parah. Entahlah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com