Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani Sebut Butuh Rp 3.500 Triliun untuk Mencapai Nol Emisi Karbon

Kompas.com - 07/12/2021, 14:20 WIB
Yohana Artha Uly,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, melakukan transisi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan biaya yang sangat besar.

Setidaknya dibutuhkan Rp 3.500 triliun untuk mencapai target net zero emission (NZE).

Seperti diketahui, Indonesia menargetkan bisa mencapai nol emisi karbon atau NZE pada 2060.

Baca juga: Sah, Pertamina Hulu Energi Kuasai 51 Persen Saham Elnusa

Dalam peta jalan untuk mencapai itu, ditargetkan terjadi penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen-41 persen pada 2030.

Ia mengungkapkan, berdasarkan penghitungan yang dilakukan, kebutuhan biaya untuk mencapai target penurunan emisi karbon di Indonesia, terbesar ada pada sektor energi.

Sektor ini memang menyumbang karbon dioksida (CO2) atau emisi karbon.

"Sektor energi itu untuk bisa berkontribusi menurunkan 3/4 atau sekitar 450 juta ton ekuivalen CO2, biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan itu mencapai Rp 3.500 triliun," kata Sri Mulyani dalam Pertamina Energy Webinar 2021, Selasa (7/12/2021).

Ia menjelaskan, energi memang menjadi sektor yang paling mahal dan memakan biaya dalam operasionalnya.

Baca juga: Ini Proyek-proyek Pertamina untuk Dukung Transisi Energi

 

Meski demikian, sektor energi sangat penting bagi masyarakat dan menjadi salah satu yang berperan besar dalam penurunan emisi karbon.

Menurut Bendahara Negara itu, ada beberapa faktor yang menyebabkan mahalnya transisi energi.

Pertama, jika ingin beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan, penggunaan pembangkit listrik berbasis batu bara atau energi fosil lainnya perlu berhenti.

"Berarti kita membutuhkan dana untuk retierment (penghentian penggunaan pembangkit berbasis fosil) itu, dan itu tidak murah," kata Sri Mulyani.

Kedua, biaya yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan sangat besar, seperti pada energi geothermal atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang membutuhkan nilai investasi besar sejak awal pembangunan.

Baca juga: Minyak Sawit Dinilai Bisa Menjadi Solusi Krisis Energi

"Memang jangka panjangnya berdampak sangat positif, tapi membutuhkan front capital spending yang besar," imbuh dia.

Selain itu, ada risiko dalam proses pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan.

Pada sisi energi geothermal, misalnya, eksplorasi untuk menemukan energi panas bumi membutuhkan biaya yang besar, tetapi tetap ada potensi bahwa dari eksplorasi tersebut tidak membuahkan hasil.

Oleh sebab itu, kata Sri Mulyani, dalam memetakan transisi energi dibutuhkan pemikiran yang sangat detail.

Hal ini disebabkan tidak hanya soal kebijakan membangun energi terbarukan, tetapi juga mencakup kebijakan mengenai risiko dan pengenaan tarifnya ke depannya.

Baca juga: Belajar dari Semangat Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) Mesir

"Jadi dibutuhkan pemikiran yang sangat detail, mengenai bagaimana kita bisa menetapkannya, tidak hanya membangun renewable energy, tapi juga kebijakan mengenai risiko dan penarifan dalam jangka menengah panjang yang harus kita desain," pungkas dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com