Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Daftar 6 BUMN yang Punya Utang Menumpuk, dari AP I hingga Waskita Karya

Kompas.com - 08/12/2021, 09:31 WIB
Yohana Artha Uly,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

Garuda memiliki ekuitas negatif sebesar 2,8 milliar dollar AS atau sekitar Rp 40 triliun, di mana liabilitasnya mencapai 9,8 miliar dollar AS, sedangkan asetnya hanya sebesar 6,9 miliar dollar AS.

"Sebenarnya kalau dalam kondisi saat ini, dalam istilah perbankan ini technically bankrupt (secara teknis bangkrut), tapi legally belum. Sekarang kami sedang berusaha untuk keluar dari kondisi ini yang technically bangkrupt," ungkap Tiko dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11/2021).

Manajemen Garuda Indonesia melalui keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) Selasa (16/11/2021) menjelaskan, pendapatan perusahaan selalu lebih rendah ketimbang biaya operasional yang dikeluarkan.

Baca juga: Utang Garuda Indonesia Membengkak Rp 70 Triliun, DPR Minta Audit Laporan Keuangan

Hingga September 2021, total pendapatan Garuda sebesar 568 juta dollar AS atau sekitar Rp 8,06 triliun, sementara total biaya operasional mencapai 1,29 miliar dollar AS atau sekitar Rp 18,31 triliun.

Kerugian operasional itu disebabkan oleh struktur biaya perseroan yang sebagian besar bersifat tetap atau fixed, dan tidak sebanding dengan penurunan signifikan atas pendapatan perseroan imbas kondisi pandemi Covid-19.

Sebelumnya, selain karena dampak pandemi, menurut Menteri BUMN Erick Thohir krisis keuangan Garuda juga terkait dengan pihak penyewa pesawat atau lessor, sebagian di antaranya terlibat kasus korupsi dengan manajemen lama.

Tindakan manajemen lama itu membuat terlalu tingginya beban biaya penyewaan pesawat yang melebihi kewajaran. Selain itu, Garuda terlalu banyak memiliki jenis pesawat dan rute-rute penerbangan yang tak menguntungkan, terutama untuk rute penerbangan internasional.

"Sejak awal kami di Kementerian (BUMN) meyakini, bahwa memang salah satu masalah terbesar di Garuda mengenai lessor. Lessor ini harus kami petakan ulang, mana saja yang masuk kategori dan bekerja sama di kasus yang sudah dibuktikan koruptif," ujar Erick dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (3/6/2021).

Baca juga: Pemerintah Lebur 6 BUMN Pangan Jadi 3 BUMN

3. PT PLN (Persero)

Berdasarkan laporan keuangan 2020, PLN diketahui memiliki utang sebesar Rp 649,2 triliun. Terdiri dari utang jangka panjang sebesar Rp 499,58 triliun dan utang jangka pendek Rp 149,65 triliun.

Utang jangka panjang PLN diantaranya didominasi oleh obligasi dan sukuk sebesar Rp 192,8 triliun, utang bank Rp 154,48 triliun, utang imbalan kerja Rp 54,6 triliun, liabilitas pajak tangguhan Rp 31,7 triliun, dan penerusan pinjaman Rp 35,61 triliun.

Pada Juni 2021 lalu, Erick juga sempat mengungkapkan, bahwa PLN memiliki utang yang menumpuk hingga Rp 500 triliun. Hal itu yang membuat BUMN kelistrikan itu harus memangkas belanja modal (capital expenditure/capex) hingga 50 persen untuk efisiensi.

"PLN itu utangnya Rp 500 triliun, tidak ada jalan kalau tidak segera disehatkan. Salah satunya, itu kenapa sejak awal kami meminta capex PLN ditekan sampai 50 persen," ujarnya dalam rapat dengan Komisi VI DPR RI, Kamis (3/6/2021).

Baca juga: Sejarah Angkasa Pura I yang Kini Rugi dan Terlilit Utang Rp 35 Triliun

Selain memangkas capex, penanganan utang yang besar itu dilakukan pula dengan meminta PLN melakukan negosiasi ulang kepada pihak kreditur untuk bisa mendapatkan bunga yang lebih rendah. Adapun hingga saat ini jumlah rasio utang PLN sudah menjadi Rp 452,4 triliun.

4. PT Perkebunan Nusantara (Persero)

PT Perkebunan Nusantara atau PTPN tercatat terbelit utang mencapai Rp 43 triliun. Menurut Erick, itu merupakan utang lama yang sudah menggunung dan terindikasi adanya korupsi terselubung.

"PTPN itu punya utang Rp 43 triliun. Ini merupakan penyakit lama dan saya rasa ini korupsi yang terselubung, yang memang harus dibuka dan dituntut pihak yang melakukan ini," ungkapnya dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (22/9/2021).

Pihaknya pun berupaya untuk mengatasi utang tersebut, salah satunya dengan memperpanjangan masa pelunasan utang atau restrukturisasi. Menurutnya, meski restrukturisasi berhasil dilakukan, namun perlu dibarengi komitmen perusahaan untuk membenahi kinerja keuangan.

Perbaikan itu dilakukan dengan efiensi besar-besaran biaya operasional perusahaan. Selain itu, PTPN juga harus meningkatkan produksinya agar arus kas perusahaan bisa terjaga, sehingga bisa melunasi utangnya.

Baca juga: Pemerintah Masih Punya Rp 1 Triliun Anggaran Penanggulangan Bencana Alam

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com