Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasangan Ini Olah Kerajinan Tangan dari Sabut Kelapa hingga Dipasarkan ke Luar Negeri

Kompas.com - 13/12/2021, 06:08 WIB
Yohana Artha Uly,
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Tim Redaksi

Akhirnya, mereka membeli dengan harga Rp 300.000 untuk 100 kilogram sabut kelapa.

"Kami pulang dengan harapan besar, ini bisa menjadi awal. Tapi setelah dihitung-hitung, kalau 100 kilogram dijadikan coconet, itu maksimal uang yang didapatkan hanya Rp 2 juta, jauh dari modal yang Rp 200 juta," kata dia.

Namun, ratusan kilogram sabut kelapa yang sudah dibawa pulang itu tak mungkin mereka biarkan begitu saja.

Maka di sinilah muncul ide kreatif dari Dyah untuk membuat sabut kelapa tersebut bernilai tinggi yakni dengan menjadikan kerajinan tangan.

Mulanya, ia mencoba membuat hiasan bunga berukuran besar dari sabut kelapa yang ternyata membuahkan hasil karena diminati banyak pihak.

Baca juga: Bina 100 UMKM di Indonesia Timur, Kemenkop UKM Gandeng Krealogi

Keduanya pun memutuskan memutar haluan bisnis mereka dari rencana awal memproduksi coconet menjadi memproduksi kerajinan tangan.

"Jadi kerajinan dari sabut kelapa ini, sebetulnya 'kecelakaan' yang membahagiakan," kelakar Ambrosius.

Produk-produk kerajinan tangan Wale Gonofu pada akhirnya mengisi toko-toko souvenir yang ada di Kota Manado.

Seiring dengan perkembangannya, toko-toko souvenir meminta untuk mereka memproduksi kerajinan tangan berukuran kecil.

Maka Ambrosius dan Dyah pun mengikuti permintaan pasar dangan membuat aksesoris hingga dekorasi yang berukuran kecil berbahan dasar sabut, batok, dan kayu kelapa.

Peningkatan permintaan membuat mereka mempekerjakan 3 orang dari warga desa setempat.

Omzet yang didapatkan juga cukup menggiurkan. Sebelum masa pandemi Covid-19, mereka bahkan pernah mendapatkan hingga Rp 20 juta per bulan.

Sementara saat pandemi memang sempat berimbas ke mereka. Tiga bulan pertama sejak Covid-19 masuk ke Indonesia pada awal Maret 2021 lalu, penghasilan Wale Gonofu nihil.

Baca juga: Sri Mulyani: Wanita sampai UMKM Rentan Terjebak Pinjol Ilegal

Namun kini mulai membaik dengan kisaran Rp 7-8 juta per bulan.

"Biasanya sebelum pandemi sempat sampai Rp 20 juta. Tapi ini sudah mulai naik. Ini pendapatan kotor yah, makannya kami target income-nya minimal Rp 20 juta," tambah Dyah.

Produk-produk Wale Gonofu memang mayoritas masih di pasarkan di Sulawesi Utara.

Namun, produk mereka sudah pernah menembus pasar luar negeri. Beberapa produk pernah dibeli oleh orang Indonesia untuk dibawa dan dijual di luar negeri.

Salah satu produk yang pernah dipasarkan ke luar negeri adalah sikat dari sabut kelapa.

Baca juga: Mau Jadi Seller Tepercaya? Daftarkan Rekening UMKM ke Kemenkominfo

Sikat ini bahkan mengikuti pameran Dubai Expo 2021 di Uni Emirat Arab (UEA) pada Desember 2021 dibawa oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) milik Kementerian Keuangan.

"Penjualan ke luar negeri lebih ke pertemanan dan ke pameran-pameran. Kami juga pernah ikut pameran di Italia. Kami tentu ingin bisa mengekspor sendiri produk-produk kami," kata Dyah.

Kendala mengembangkan Wale Gonofu

Kendati demikian, diakui Dyah, penjualan produk Wale Gonofu saat ini lebih banyak dari offline

Keterbatasan internet di Desa Pinenek menjadi kendala untuk merambah pasar online.

Ia bilang, sudah ada satu operator internet yang masuk ke desanya, namun kualitas internetnya seringkali down.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com