JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai tingginya inflasi di negara-negara maju seiring terjadinya pemulihan ekonomi nasional. Inflasi yang tinggi sudah dialami oleh sejumlah negara, yakni AS hingga negara di benua eropa.
Baca juga: Inflasi: Pengertian, Penyebab, dan Bedanya dengan Deflasi
Bendahara negara ini waspada lantaran inflasi akan memicu normalisasi kebijakan moneter bank sentral AS, The Fed, lebih cepat. Hal ini akan menimbulkan efek rambatan (spill over) ke negara berkembang termasuk Indonesia.
Baca juga: Harga Rokok Naik Lagi, Sri Mulyani: Masih Lebih Rendah daripada Singapura dan Malaysia
"Respon kebijakan baik di AS maupun eropa yang berfokus pada penanganan inflasi dan menjaga pemulihan ekonomi pasti memiliki spill over atau berimbas ke negara berkembang termasuk emerging market dan Indonesia. Kita harus menjaga diri," kata Sri Mulyani dalam diskusi media, Selasa (14/12/2021).
Baca juga: Naikkan Cukai Hasil Tembakau, Sri Mulyani: Konsumsi Rokok Lebih Besar daripada Telur...
Sri Mulyani menuturkan, inflasi di AS sudah mencapai 6,2 persen pada Oktober 2021 dan meningkat menjadi 6,8 persen di bulan November 2021. Inflasi ini menjadi yang tertinggi sejak tahun 1982 atau 38 tahun yang lalu.
Fenomena serupa terjadi di Eropa. Salah satu negara eropa dengan ekonomi terbesar, Jerman, mencatat kenaikan inflasi di atas 4 persen. Padahal inflasi negara di zona ini biasanya mendekati 0 persen atau bahkan deflasi.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut, tingginya inflasi menjadi salah satu fenomena global yang harus diwaspadai.
"Kita bisa proyeksikan bahwa tekanan kepada otoritas moneter untuk melakukan pengetatan akan semakin besar secara politik maupun faktual," jelas Sri Mulyani.