Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Superman Syndrome, Korporatisasi Usaha Mikro dan Koperasi Multi Pihak

Kompas.com - 14/12/2021, 14:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JUMLAH usaha mikro dan kecil (UMK) itu dominan, 99,99 persen dari seluruh pelaku usaha Tanah Air. Mereka menyediakan lapangan kerja sebesar 96,92 persen. Bisa dibilang 9 dari 10 orang Indonesia bekerja di sektor itu.

Fakta itu mengonfirmasi beberapa hal sekaligus. Pertama industrialisasi mandeg, lapangan kerja formal tak mampu menyerap mereka. Sehingga bisa dipahami mengapa Presiden Joko Widodo atau Jokowi getol bicara soal investasi dan menambah menteri baru, Menteri Investasi. Tujuannya untuk membuka sebanyak-banyaknya usaha baru dan menyerap tenaga kerja.

Kedua, usaha yang berkembang di aneka sektor itu lahir bukan berbasis peluang (by opportunity) tetapi kebutuhan (by necessity). Semisal katup penyelamat dari kecilnya lapangan kerja sektor formal yang membuat warga mau tak mau bekerja di sektor informal.

Baca juga: Jokowi Minta Kemudahan Investasi Juga Diberikan kepada Usaha Kecil

Ironisnya, kue ekonomi yang diperebutkan juga terbatas. Tak ayal belanja pemerintah dalam berbagai bentuk dan instrumen akan selalu besar agar kue ekonomi bisa menetes sampai ke bawah.

Sebut saja pengadaan barang dan jasa 40 persen pemerintah pusat dan daerah yang secara imperatif oleh UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 diberikan kepada koperasi dan pelaku usaha mikro dan kecil.

Namun, saya tak akan masuk ke analisis makroskopik soal kebijakan yang banyak sekali dan lintas sektor. Saya akan bicara pada aspek meso, yakni dimensi kelembagaan pelaku usaha mikro dan kecil. Sebab hal ini, yang hemat saya, jarang dikupas dan dijadikan sebagai strategi naik kelas.

Kita lebih banyak bicara pada isu permodalan dan yang terbaru soal pemasaran digital. Pada yang terakhir ini, data menyebut 75 persen pelaku usaha setelah on boarding ke marketplace sulit memastikan keberlanjutannya yakni pada ketersediaan produk dan layanan purna jual (iDEA, 2021). Hal itu bisa menjadi kajian menarik, mengapa sampai terjadi?

Superman syndrome

Sudah banyak lembaga yang mengkaji mengapa usaha mikro sulit naik kelas. Faktor penyebabnya banyak. Bila kita bedah pakai rantai nilai (value chain), faktornya tersebar di semua lini.

Di lini inbound mulai dari ketersediaan dan harga bahan baku, kurangnya sarana/alat yang memadai, bila budidaya termasuk di dalamnya pupuk serta pestisida. Lalu di operasional, rendahnya inovasi produk, kurangnya kendali mutu, pengemasan serta brand yang kurang dan sebagainya.

Di aspek outbond dan marketing tak miliki gudang, sistem inventori yang tidak representatif, rendahnya kemampuan pemasaran, termasuk digital marketing.

Belum lagi ditambah dengan faktor pendukung, yang paling klasik adalah terbatasnya modal. Termasuk tidak adanya sistem pembukuan (manual atau digital). Kemudian faktor entrepreneurship yang rendah juga menjadi masalah krusial. Tidak memiliki izin yang semestinya, seperti izin PIRT, halal, BPOM dan berbagai sertifikat khusus lainnya.

SDM juga dinilai kurang terampil dan banyak faktor lainnya. Singkatnya masalahnya banyak sekali.

Lantas bagaimana kita menangani masalah di atas?

Pendekatan umum, mereka dilatih agar kapasitas dan kapabilitasnya naik. Mulai pelatihan produksi, standarisasi dan inovasi produk, branding dan pengemasan dan pemasaran digital. Tak ketinggalan pelatihan pembukuan keuangan, pelatihan aman pangan/ izin dan sebagainya. Yang lebih canggih, pelatihan kontrak bisnis, kerjasama investasi dan seterusnya.

Baca juga: Bahlil: UMKM Urus NIB Lewat OSS Hanya Perlu e-KTP dan Gratis

Lalu apa kurangnya dari pelatihan tersebut, yang sudah dikerjakan puluhan tahun, dengan hasil yang masih sama, pelaku usaha mikro dan kecil dominan. Yang alpa adalah kita luput menyadari bahwa mereka mengalami beban ganda, mereka owner sekaligus worker.

Mereka memainkan semua peran manajerial, dari operasional, sekaligus pemasaran dan keuangan. Mereka memikirkan, mengendalikan, dan mengelola semua rantai nilai usahanya.

Fenomena itulah yang saya sebut sebagai superman syndrome, beban ganda yang membuat mereka tampak seperti manusia super yang bisa diberi banyak peran pada saat bersamaan.

Bandingkan dengan korporasi, ada distribusi peran pada setiap rantai nilai. Termasuk ada distribusi peran pada level manajerial, siapa yang merencanakan, siapa melakukan apa dan sebagainya. Termasuk juga SDM dilatih dan dibekali SOP.

Nah, pendekatan seperti itu yang perlu kita adopsi, yakni bagaimana mengembangkan basis kelembagaan yang tepat sebuah korporasi tertentu. Proses mengorporasi mereka itulah yang disebut sebagai korporatisasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com