Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

NIK dan NPWP Berbeda, Sri Mulyani: Pusing Jadi Penduduk Indonesia

Kompas.com - 15/12/2021, 06:45 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ingin agar Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Hal ini bertujuan memudahkan masyarakat wajib pajak untuk membayar pajak tanpa perlu membuat NPWP lagi.

Baca juga: Harga Rokok Per Bungkus Naik Per 1 Januari, Kretek Mulai Rp 10.100, Rokok Putih Mulai Rp 22.700

"Jadi NIK itu unik dan terus dipakai sejak lahir sampai meninggal. Tidak perlu setiap urusan nanti, KTP nomornya lain, paspor lain, pajak lain, bea cukai lain. Pusing lah jadi penduduk Indonesia itu," kata Sri Mulyani dalam sosialisasi UU HPP, Selasa (15/12/2021).

Baca juga: Sri Mulyani: 55 Persen BUMN yang Disuntik Modal Punya Utang Jumbo

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menuturkan, penggunaan NIK sebagai NPWP untuk menciptakan kesederhanaan. Setidaknya dalam urusan perpajakan, warga tidak lagi ruwet mendaftar dan memiliki nomor yang berbeda.

Baca juga: Harga Rokok Elektrik Naik Mulai Januari 2022, Ini Rinciannya

Adapun konsep serupa telah diterapkan di AS. Wanita yang berkuliah di AS ini menyebut, Negeri Paman Sam itu menggunakan satu social security number untuk semua keperluan.

Nomor identitas itu didapat Sri Mulyani saat kuliah sebagai nomor mahasiswa. Namun sampai kerja pun, nomor itu tetap berlaku sebagai identitasnya.

Baca juga: Sri Mulyani Berharap Kenaikan Cukai Rokok Turunkan Perokok Anak Usia 10-18 Tahun

"Jadi paling tidak untuk urusan perpajakan itu kita gunakan NIK identik dengan NPWP. Pada saat Anda memiliki kemampuan bayar pajak, enggak perlu minta NPWP lagi," ucap Sri Mulyani.

Kendati begitu, integrasi NIK dengan NPWP tidak berarti seluruh warga wajib dikenakan pajak. Dia menegaskan, pengenaan pajak hanya berlaku bagi pihak yang sudah bekerja maupun yang menjalankan aktivitas bisnis dengan besaran penghasilan tertentu.

Baca juga: Saat Bahlil Tantang Erick Thohir Beri Bantuan Modal untuk Sinta, Pelaku UMKM Disabilitas

Berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), penghasilan kena pajak (PKP) dikenakan untuk masyarakat dengan pendapatan Rp 60 juta per tahun atau di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Rp 4,5 juta per bulan.

Baca juga: Luhut ke Menlu AS: Indonesia Hari Ini Begitu Berubah...

Masyarakat dengan gaji Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun tidak akan diambil pajaknya. Begitu pula UMKM. UMKM dengan omzet maksimal Rp 500 juta per tahun tidak akan dikenakan pajak.

"NIK memang akan identik dengan NPWP. Tapi kewajiban pajak tergantung dari kemampuan. Kalau tidak mampu bukan bayar pajak tapi mendapatkan bantuan pemerintah," pungkas Ani.

Baca juga: Daftar 10 Orang Terkaya RI yang Makin Tajir Saat Pandemi, Pemilik Grup Djarum Masih Nomor Satu


Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan, implementasi NIK sebagai NPWP bakal berlaku penuh mulai tahun 2023.

Suryo menuturkan, NIK sebagai NPWP bakal digunakan sebagai basis administrasi wajib pajak orang pribadi (WP OP). Sedangkan badan usaha akan menggunakan Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk menjalankan kewajiban perpajakannya.

Penggunaan NIK sebagai NPWP diberlakukan mengingat Indonesia menuju integrasi satu data nasional. Data nasional ini akan menjadi acuan dari setiap dokumentasi, aktivitas bisnis, maupun kewajiban perpajakan warga negara.

"Kapan NIK itu diaktivasi sebagai NPWP? Jadi ke depan kami banyak sistem informasi. Insya Allah 2023 kita akan gunakan sepenuhnya," kata Suryo dalam tayangan Youtube sosialisasi UU HPP bersama Apindo, Selasa (26/10/2021).

Baca juga: Sri Mulyani Sebut Aturan Turunan Tax Amnesty Jilid II Tengah Difinalisasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com