Pajak, kata Sri Mulyani, juga berguna untuk memberi bantuan pada korban bencana alam yang belakangan marak terjadi menjelang akhir tahun.
Di masa pandemi Covid-19, pemerintah mengompensasi seluruh bantuan memakai dana yang diperoleh dari pajak. Hal itu meliputi, perluasan bansos, subsidi internet, subsidi listrik, PKH, Kartu Sembako, hingga dana desa yang dikonversi menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Dana program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sepanjang tahun 2020-2022 pun berasal dari pajak. Tercatat pada tahun 2020, pihaknya mengalokasikan anggaran PEN senilai Rp 575 triliun, tahun 2021 sebanyak Rp 744,77 triliun, dan tahun 2022 sebesar Rp 414 triliun.
"Jadi azas manfaatnya sangat jelas dan ini untuk menjaga kepentingan nasional. Tidak mungkin Komisi XI DPR RI akan membiarkan pemerintah membuat policy (kebijakan) yang membebani masyarakat," bebernya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menjelaskan, APBN perlu dijaga kesehatannya di samping harus menggelontorkan belanja sebesar Rp 2.750 triliun pada tahun 2022. Seluruh belanja ini harus didanai dari dana yang berasal dari penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak.
Selama pandemi kata dia, pemerintah memang boleh meningkatkan defisit fiskal melalui penarikan utang. Namun, pelebaran utang ini tidak bisa konsisten dilakukan karena mampu menimbulkan krisis ekonomi.
Reformasi perpajakan kata Sri Mulyani, yang meningkatkan basis pajak, menjadi salah satu kunci mengecilkan defisit. Penerimaan pajak mesti digenjot sehingga APBN yang sudah bekerja keras selama pandemi tidak menjadi boomerang dan menjelma menjadi sumber masalah.
"Oleh karena itu penyehatan APBN dilakukan secara terukur dan bertahap. Tentu tujuannya adalah masyarakat pulih dulu, ekonomi kuat lagi, dan APBN menjadi sehat kembali," pungkas Sri Mulyani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.