Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Ketua Badan Anggaran DPR-RI. Politisi Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan.

Mengefektifkan Pengampunan Pajak

Kompas.com - 20/12/2021, 08:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Penerimaan perpajakan tahun 2021 ini kami perkirakan juga belum pulih. Dari target penerimaan perpajakan tahun 2021 sebesar Rp 1.229,5 triliun, pemerintah sendiri memperkirakan realisasinya maksimal Rp 1.142,5 triliun (92,9 persen).

Baca juga: Menghindari Persepsi Pengampunan Pajak Permanen di Masyarakat

Terus terang, kita membutuhkan penerimaan pajak yang lebih besar. Sebab kita dibatasi waktu, pada tahun 2023 defisit APBN kembali ke batas normal, yakni maksimal 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB).

Konsekuensinya kita tidak bisa memompa belanja negara lebih besar bila penerimaan pajak rendah.

Penerimaan perpajakan akan membaik bila ekonomi pulih. Namun sisa tahun 2021 dan tahun depan dunia masih dalam bayang-bayang Omicron, varian baru virus Corona yang menyebabkan Covid-19.

Dengan kondisi ini, kami perkirakan ekonomi global tidak segera pulih. Imbasnya tentu sampai ke negara kita.

Tidak bermaksud untuk merendahkan kewibawaan negara, DPR dan pemerintah kembali menyepakati skema pengampunan pajak, dan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pilihan kebijakan ini kita tempuh agar penerimaan perpajakan kita besar di tahun 2022.

Sejujurnya ini bisa jadi harapan bantalan fiskal kita menghadapi situasi tidak menentu ke depan. Kita tidak bisa mengharapkan penarikan utang berskala besar seperti di tahun 2020 dan 2021 sebagai bantalan fiskal.

Kenapa? Pangkal soalnya Debt Service Revenue (DSR) kita tahun 2019 telah mencapai 42,74 persen, naik tinggi di tahun 2020 menjadi 46,76 persen dan tahun ini kami perkirakan 48,70 persen.

Pola pengaturan

Lantas apa bedanya pengampunan pajak tahun 2016 dengan tahun 2022?

Undang-Undang HPP telah mengatur skema pengampunan pajak di tahun 2022. WP dapat mengungkapkan harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan dalam rentang waktu perolehan 1 Januari 1985 – 31 Desember 2015, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menemukan data dan/atau informasi mengenai harta dimaksud.

Besaran tarif PPh final dikenakan variatif. Terhadap harta deklarasi di dalam negeri akan dikenai tarif 6 persen bila diinvestasikan ke sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam negeri, dan atau diinvestasikan ke Surat Berharga Negara (SBN). Namun, bila tidak diinvestasikan ke sektor ini, maka akan dikenai tarif 8 persen.

Terhadap harta di luar negeri akan dikenakan tarif 6 persen bila dibawa ke dalam negeri dan diinvestasikan ke sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam negeri, dan atau diinvestasikan ke SBN.

Bila pengungkapan harta di luar negeri hanya dibawa balik ke dalam negeri dan tidak diinvestasikan ke sektor sektor di atas, maka akan dikenai tarif 8 persen, dan bila masih diinvestasikan di luar negeri akan dikenai tarif 11 persen.

Rentang waktu pengungkapan harta pengampunan pajak pada UU HPP ini adalah 1 Januari - 30 Juni 2022. Untuk pengalihan harta di luar negeri dilakukan selambatnya 30 September 2022. Sedangkan batas akhir realisasi investasi dari harta pengampunan pajak ke sektor sektor di atas pada 30 September 2023 dengan waktu investasi paling singkat lima tahun.

Terhadap WP yang mengungkapkan harta tertanggal 1 Januari 2016 sampai 31 Desember 2020, masih dimiliki sampai 30 Desember 2020 dan belum dilaporkan SPT tahun 2020, dapat mengikuti pengampunan pajak dengan syarat tidak sedang dalam pemeriksaan, penyidikan, menjalani proses peradilan dan pidana pajak tahun 2016-2020.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com