JELANG akhir tahun, manajemen Gopay mengundang para pimpinan media nasional untuk dinner dan memberikan insight mengenai ekonomi digital yang ada di Indonesia. Mewakili Pemred Kompas.com, saya berkesempatan untuk mengikuti event tersebut.
CEO Gopay Hans Patuwo dalam paparannya mengatakan bahwa salah satu isu yang menjadi fokus dari Gopay dan Goto secara keseluruhan adalah UMKM.
Bukannya tanpa alasan Goto memilih fokus pada UMKM. Bagaimanapun, pelaku usaha tersebut tak sekedar sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Lebih dari itu, mereka mulai bertransformasi menjadi pemain utama di tengah perubahan struktur ekonomi yang hampir seluruhnya mulai terdigitalisasi.
Baca juga: Teten: Fintech Bisa Kurangi Kesenjangan Finansial UMKM
Bagi Goto, besarnya peran yang dipegang UMKM ini memang harus dijaga agar para pebisnis tersebut mampu menjawab permintaan dari ekosistem digital yang semakin besar. Harapannya, para pelaku usaha tersebut tak terlalu menghadapi persoalan klasik: permodalan dan pemasaran.
“Untuk UMKM yang berorientasi growth, kami fokus bagaimana membantu permodalan. Sementara bagi yang merasa sudah cukup, kami mencoba memfasilitasi pemasarannya agar lebih baik lagi,” ujarnya Jumat (17/12/2021).
Pilihan Goto untuk fokus pada mitra dan UMKM tentu tidak semata didasarkan pada alasan populis, sebagaimana yang banyak didengungkan oleh para politisi. Lebih dari itu, UMKM diproyeksikan bakal menjadi pemain utama dalam rantai pasok ekonomi digital.
Tak dimungkiri, UMKM selama ini memang menjadi pengisi ruang-ruang kosong di pasar yang tak bisa diisi oleh industri skala besar. Namun justru karena keterbatasannya itulah, UMKM memiliki kekuatan untuk memenuhi demand dari pasar yang semakin spesifik ketika ekosistem digital semakin membesar.
Mengutip Heimans & Timms (2018), ekosistem digital saat ini adalah new power, karena di dalamnya terdapat banyak pihak, terbuka, saling berpartisipasi dan saling ditopang oleh kelompok yang sama.
Inilah yang membedakannya dengan korporasi yang cenderung tertutup dan selalu ingin menguasai rantai pasok dari hulu ke hilir tanpa memberi kesempatan kepada pihak lain.
Hadirnya platform digital telah memberikan dampak yang luar biasa besar terhadap struktur perekonomian yang telah berlangsung sejak akhir abad ke-20. Di mana selama masa tersebut, aktivitas perekonomian banyak dikontribusi dari aktivitas industri.
Industri-industri melakukan produksi massal untuk memenuhi demand yang muncul di pasar. Namun hadirnya platform digital telah memaksa banyak industri untuk mulai berpikir mengenai urgensi melakukan produksi massal.
Baca juga: Bukalapak dan Microsoft Rilis E-Learning Platform untuk UMKM, Seperti Apa?
Kumar (1995) dalam bukunya From Post-Industrial to Post Modern Society menyebutkan bahwa era post-industrial ditandai dengan kaburnya mass market yang dipasok oleh produk-produk yang dibuat secara massal (mass production).
Meski buku tersebut ditulis lebih dari 25 tahun yang lalu, namun beberapa bagian dari buku itu masih relevan untuk melihat fenomena saat ini, ketika platform digital (e-commerce, ride hailing, hingga fintech) telah mulai mengambil alih banyak aspek dalam kehidupan ekonomi modern.
Ya, Kumar menulis bahwa konsumen tidak bisa lagi dilihat sebagai pasar yang memiliki selera sama. Ini karena konsumen dalam era pasca-industri adalah kelompok yang memiliki kepentingan dan selera yang berbeda-beda.
Karenanya, suplai untuk memenuhi kebutuhan mereka tak bisa lagi diproduksi secara massal. Sebaliknya, harus dilakukan dalam jumlah yang terbatas, serta dengan fitur-fitur yang spesifik sesuai dengan permintaan.
Istilah kekiniannya, barang harus lebih customized.
Hadirnya ekonomi berbasis digital, tak dimungkiri, memang berbarengan dengan meredupnya produk dan layanan yang berorientasi massal.
Di bidang transportasi kita bisa melihat bagaimana transportasi massal di perkotaan mulai tergeser oleh layanan transportasi on demand yang memungkinkan pengguna bergerak dari satu titik ke titik lainnya secara langsung.
Di industri hiburan, kita juga bisa melihat bagaimana para Youtuber maupun content creator lainnya secara perorangan membuat konten-konten dengan tema yang spesifik untuk memuaskan subscriber-nya. Dan, keberadaan mereka perlahan mulai menggeser peran industri televisi serta production house yang selama ini menjadi pemasok utama konten-konten hiburan di masyarakat.
Hingga pada akhirnya kita bisa melihat bagaimana para pelaku usaha kecil di bidang makanan-minuman bisa menjual produk yang sangat spesifik dari para konsumen. Di mana, produk yang dijual pelaku usaha tersebut mustahil dipenuhi oleh industri yang memang berorientasi pada produksi massal.
Contoh seperti teman saya yang gemar minum kopi arabika Bali dengan roasting medium, tentu akan sulit berharap pada korporasi besar untuk menyediakan jenis produk tersebut. Harapan satu-satunya ya ke UMKM. Pelaku usaha yang memang menyediakan produk itu tadi.
Tak ada yang bisa menghalangi berkembangnya ekosistem digital. Pun dengan konsumen yang menjadi bagian dari ekosistem tersebut, semakin beragam permintaannya.
Memosisikan UMKM dalam rantai pasok adalah keputusan yang memang tepat. Di sisi lain, banyaknya UMKM yang ada, diyakini akan mampu mengimbangi permintaan yang ada.
Karenanya, isu memperkuat UMKM ini memang cukup krusial untuk saat ini guna menjamin rantai pasok dalam ekosistem digital tetap berkelanjutan.
Tak cukup dengan dukungan permodalan, namun juga perlu untuk memberikan literasi digital serta kemampuan lainnya.
Karenanya ke depan perlu dibangun sebuah kolaborasi yang melibatkan berbagai pihak agar UMKM benar-benar mampu menjadi bagian dari ekonomi digital, baik itu perbankan, platform digital, hingga pihak-pihak yang mampu memoles image UMKM menjadi lebih baik.
Baca juga: Bank Sampoerna Gandeng MEKAR, Rilis Pembiayaan UMKM MekarinAja
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.