Pernyataan Marimutu kemudian dibantah oleh Sang Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. Dia menuturkan, pemerintah sudah berulang kali memberikan kesempatan selama 22 tahun belakangan sejak tahun 1998 untuk membayar utang.
Grup ini kata Ani, memang sudah berulang kali mengaku akan membayar utang-utangnya. Sampai saat ini, pembayaran utang tidak pernah terealisasi.
Kesempatan pertama diberikan pemerintah dengan menerbitkan Letter of Credit (L/C) melalui Bank Negara Indonesia (BNI). Penerbitan L/C dilalukan untuk mendukung bisnis tekstilnya berjalan sehingga mampu melunasi utang.
Grup Texmaco lalu membuat perjanjian dengan BPPN melalui Master of Restructuring Agreement (MRA) yang ditandatangani oleh Marimutu Sinivasan. Perjanjian menyebutkan Grup Texmaco setuju utang-utang usahanya dialihkan kepada dua perusahaan yang dibentuk, PT Jaya Perkasa Engineering dan PT Bina Prima Perdana.
Kemudian, Grup Texmaco mengeluarkan exchangeable bonds (obligasi tukar) sebagai pengganti dari utang-utang. Exchangeable bonds ini memiliki tenor 10 tahun dengan bunga 14 persen untuk rupiah dan 7 persen untuk mata uang global.
Sayangnya, Grup Texmaco gagal membayar kupon exchangeable bonds pada tahun 2004.
"Dengan demikian pada dasarnya Grup Texmaco tidak pernah membayar kupon dari utang yang sudah dikonversi menjadi exchangeable bonds tersebut," jelas Sri Mulyani
Kesempatan kedua diberikan kembali pada tahun 2005. Kala itu, perusahaan mengakui besaran utang kepada pemerintah melalui Akta Kesanggupan Nomor 51.
Pemilik Grup Texmaco menyatakan, pihaknya bakal kembali membayar utang dan jaminan kepada pemerintah melalui operating company dan holding company sebesar Rp 29 triliun.
Pun akan membayar tunggakan LC yang waktu itu sudah diterbitkan untuk mendukung perusahaan tekstilnya sebesar 80,57 juta dollar AS. Di sisi lain pemilik juga mengatakan tidak akan mengajukan gugatan kepada pemerintah di akta yang sama.
Sekali lagi, Grup Texmaco tidak memenuhi akta kesanggupan tersebut. Sebaliknya, Marimutu malah menjual aset-aset dari holding company dan mengajukan gugatan.
"Menjual aset-aset yang dimiliki operating companies itu yang tadi memiliki kewajiban untuk membayar Rp 29 triliun. Harusnya membayar Rp 29 triliun, justru operating company-nya menjual aset-aset yang seharusnya dipakai untuk membayar utang," rinci Ani.