Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Elpiji hingga Rokok Naik, Bagaimana Dampaknya ke Inflasi Tahun Depan?

Kompas.com - 30/12/2021, 15:43 WIB
Yoga Sukmana

Editor

Sumber

JAKARTA, KOMPAS.com - Menyongsong tahun 2022, sudah berhembus kabar yang menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak, yaitu penyesuaian iuran dan sejumlah tarif yang akan mulai dilakukan secara bertahap pada tahun depan.

Setidaknya sudah ada beberapa agenda peningkatan harga. Seperti, harga gas Liquified Petroleum Gas (LPG) atau elpiji nonsubsidi sebesar Rp 1.600 hingga Rp 2.600 per kilogram.

Peningkatan harga LPG ini bahkan sudah dilakukan per 25 Desember 2021. Meski, khusus harga LPG 3 kilogram masih tetap karena disubsidi pemerintah.

Kemudian ada wacana kenaikan tarif listrik golongan pelanggan non-subsidi di tahun depan. Dengan skema tarif penyesuaian, maka kenaikan tarif listrik di tahun depan diperkirakan naik dari Rp 18.000 hingga Rp 101.000 per bulan sesuai dengan golongannya.

Baca juga: Kisah 2 Merek Sepatu Lokal, Sagara Boots dan Pijakbumi, Berhasil Tembus Pasar Global

Tak ketinggalan, ada rencana peningkatan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan wacana penghapusan BBM di bawah RON 92 yaitu Premium.

Selain itu, masyarakat juga harus bersiap dengan peningkatan beberapa harga barang karena peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta tarif cukai hasil tembakau (CHT) dengan rata-rata kenaiakan 12 persen dan khusus untuk SKT ditetapkan 4,5 persen.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, peningkatan harga ini tentu akan melecut inflasi di tahun 2022 ke kisaran 5 persen secara tahunan (yoy), atau lebih tinggi dari kisaran sasaran Bank Indonesia (BI) yang sebesar 3 persen plus minus 1 persen.

Belum lagi, akan ada risiko peningkatan harga kebutuhan pokok, seperti pangan yang dipengaruhi oleh pasokan pangan karena adanya La Nina dan peningkatan permintaan menjelang Ramadhan 2022.

Baca juga: Capaian-capaian Pasar Modal Indonesia Selama 2021

Risiko tidak berhenti sampai di situ. Ada juga risiko terkait dengan imported inflation, seiring dengan gonjang-ganjing nilai tukar rupiah karena normalisasi kebijakan moneter bank-bank sentral dunia.

Imbas peningkatan inflasi ini kemudian dirasakan oleh rumah tangga, terutama kelompok menengah bawah.

“Ada kecenderungan rumah tangga kemudian mengurangi pengeluaran sekundernya, sebagai dampak dari kenaikan harga energi dan kenaikan harga kebutuhan pokok,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Selasa (28/12/2021).

Akan tetapi, Bhima tetap melihat kemungkinan positif di tahun depan terkait prospek konsumsi rumah tangga, yaitu dari pembukaan sektor perekonomian yang bisa mengungkit pendapatan masyarakat, terutama di sektor komoditas imbas naiknya permintaan ekspor.

Sehingga dengan demikian, Bhima memperkirakan pertumbuhan ekonomi di tahun depan masih akan terjaga di kisaran 4,5 persen yoy hingga 5,0 persen yoy.

Ia pun kemudian memberikan imbauan pada pemerintah. Untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, pemerintah juga harus tetap berupaya keras dalam menjaga stabilitas harga, mengingat ini sangat dekat dengan konsumsi rumah tangga yang menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia.

Baca juga: Januari 2022, Nasabah Bank Neo Bisa Ajukan Kredit via Aplikasi Neobank

Beberapa imbauannya, pertama, pemerintah bisa menjaga agar kenaikan harga energi tak terlalu tinggi pada tahun 2022 dengan memberikan instruksi kepada Pertamina untuk memangkas laba dan menahan kenaikan harga gas maupun BBM.

Halaman:
Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com