“Saya setuju OJK perpanjang restrukturisasi, jadi saat ekonomi mulai pulih, sebenarnya company sudah sanggup bayar bunga dalam kondisi normal. Tapi enggak apa-apa kasih napas buatan lagi supaya ekonomi bisa bergerak cepat,” ujar Raphon.
Raphon menyebutkan memang pemulihan ekonomi perlahan mulai terlihat, tetapi jika restrukturisasi di setop pada tahun 2022, beberapa perusahaan yang berencana ekspansi akan kehabisan dana untuk membayar beban bunga ke perbankan.
“Tahun 2022 kita boleh bilang ada pemulihan walaupun masih gradual. Perusahaan mulai ekspansi secara perlahan, kalau restrukturisasi ini di setop 2022, sementara perusahaan mulai untuk ekspansi, dan mereka harus bayar beban bunga kepada bank dengan kondisi normal, jadi tahun 2022 habis hanya untuk bayar beban bunga ke perbankan,” kata dia.
Baca juga: Grup ANJ Raih Dua Proper Emas dari KLHK
Pada tahun ini, OJK juga telah menerbitkan regulasi yang mengatur keberadaan bank digital. Ketentuan ini tercantum dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.
Melalui aturan tersebut, OJK mendefinisikan bank digital sebagai Bank Berbadan Hukum Indonesia (BHI) yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha yang utamanya melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat (KP), atau dapat menggunakan kantor fisik yang terbatas.
Dalam berbagai kesempatan OJK menegaskan, otoritas tidak ingin mendikotomikan antara bank konvensional yang memiliki layanan digital dengan bank digital. Sebab, pada intinya bank konvensional dan bank digital memiliki fungsi yang sama, yakni sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Namun demikian, melalui POJK Nomor 12/POJK.03/2021 OJK menetapkan 6 persyaratan bagi bank agar dapat disebut sebagai bank digital. Pertama, memiliki model bisnis dengan penggunaan teknologi yang inovatif dan aman dalam melayani kebutuhan nasabah.
Baca juga: KAI Sediakan Layanan Tes PCR untuk Penumpang Anak di Stasiun Bekasi
Kemudian bank digital harus memiliki kemampuan untuk mengelola model bisnis perbankan digital yang pruden dan berkesinambungan. Ketiga, memiliki manajemen risiko secara memadai.
Keempat, bank digital harus memenuhi aspek tata kelola termasuk pemenuhan direksi yang mempunyai kompetensi di bidang teknologi informasi dan kompetensi lain sebagaimana dimaksud dalam ketentuan OJK mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan.
Ketentuan kelima dan keenam adalah menjalankan perlindungan terhadap keamanan data nasabah dan memberikan upaya yang kontributif terhadap perkembangan ekosistem keuangan digital dan/atau inklusi keuangan.
Selain itu, OJK juga menerbitkan POJK Nomor 13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum untuk melengkapi POJK Nomor 12 Tahun 2021. Melalui aturan ini, perbankan bisa lebih mudah meluncurkan produk lanjutan.
Baca juga: Menko Airlangga: 2021 adalah Tahun yang Berat...
Pasalnya melalui POJK tersebut, bank dapat melakukan uji coba atau piloting poduk lanjutan kepada masyarakat dalam jumlah terbatas atau pegawainya sebelum meluncurkannya ke masyarakat luas.
Kedua aturan itu pun disambut baik oleh perbankan, baik yang telah resmi meluncur menjadi bank digital, ataupun yang sedang mempersiapkannya.
PT Bank Jago Tbk sebagai salah satu bank digital yang telah beroperasi, menilai aturan baru dari OJK mengindikasikan, regulator telah cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, dan siap mengakomodasi perubahan perilaku masyarakat yang semakin digital.
"Regulasi ini para pelaku di industri bank digital mampu untuk tumbuh secara lebih cepat, berkelanjutan, dan semakin berani berinovasi," ujar Direktur Kepatuhan Bank Jago, Tjit Siat Fun.