KOMPAS.com - Untuk tahun 2022, reksa dana yang berbasis saham diyakini lebih baik dibandingkan reksa dana yang berbasis obligasi. Mengapa?
Saham ditopang lebih banyak sentimen positif seperti aktivitas ekonomi yang semakin mendekati normal, berkah dari tingginya harga komoditas dan peluang emiten membukukan laporan keuangan yang lebih baik
Di sisi lain, reksa dana berbasis obligasi yang kinerjanya cukup baik selama beberapa tahun belakangan diperkirakan akan cukup sulit mempertahankan kinerjanya.
Baca juga: Generasi Milenial Makin Tertarik Investasi Saham dan Reksa Dana
Hal ini disebabkan karena tapering yang dipercepat dan rencana kenaikan suku bunga berbagai bank sentral di seluruh dunia.
Bagaimana dengan persiapan investor reksa dana di tahun 2022 ? Bagaimana pula mengatur aset alokasi yang pas? Sebelum membahas lebih lanjut, outlook dari masing-masing jenis reksa dana adalah sebagai berikut
Meski merupakan jenis reksa dana yang selalu positif dari tahun ke tahun karena penempatannya yang konservatif yaitu pada deposito dan obligasi dengan jangka waktu 1 tahun, kinerja reksa dana pasar uang menurun dari tahun ke tahun.
Hal ini sesuai dengan tren suku bunga deposito yang terus menurun mengikuti BI Rate. Kinerja reksa dana pasar uang selama 2019-2021 berturut-turut adalah sebagai berikut +5,29 persen, +4,61 persen dan +3,26 persen.
Baca juga: Investasi Reksa Dana Bisa Pakai GoPay Lewat GoInvestasi, Ini Caranya
Rencana tapering lebih cepat, yang kemudian diikuti kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Amerika Serikat dan Bank Indonesia bisa menjadi sentimen yang baik untuk reksa dana pasar uang karena suku bunga deposito berpeluang naik tahun depan.
Hanya saja kalaupun naik, kemungkinan baru di semester 2 dan itupun bertahap antara 0,25 persen–0,50 persen. Belum tentu juga perbankan langsung melakukan penyesuaian terhadap suku bunga depositonya.
Untuk itu, kinerja reksa dana pasar uang kelihatannya masih akan berkisar antara 2,5 persen– 3,5 persen di tahun 2022.
Tapering lebih cepat dan kenaikan suku bunga yang dipicu inflasi lebih tinggi di seluruh dunia, secara teori dapat menyebabkan penurunan harga pada obligasi terutama obligasi pemerintah.
Di sisi lain, meski inflasi Indonesia tahun depan lebih tinggi, meningkat dari sekitar 1,4 persen-1,5 persen di tahun 2021 menjadi diperkirakan antara 3 persen–3,5 persen di 2022, masih lebih rendah dibandingkan inflasi Amerika Serikat yang saat ini berkisar antara 6,8 persen–7 persen.
Secara APBN, Indonesia juga diuntungkan dari meningkatnya harga komoditas yang menyebabkan pendapatan pajak melampaui target dan cadangan devisa mencapai rekor baru.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia juga turut menerapkan berbagai kebijakan dan stimulus, ditambah dengan dana menganggur di perbankan dan investor amat berlimpah sehingga mampu mengangkat harga obligasi di tengah net sell oleh investor asing.
Kinerja rata-rata reksa dana pendapatan tetap selama 2019–2021 berturut-turut +9 persen, +9 persen dan +2,32 persen.