KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan Experd Consultant
Eileen Rachman dan Emilia Jakob
Character Building Assessment & Training EXPERD

EXPERD (EXecutive PERformance Development) merupakan konsultan pengembangan sumber daya manusia (SDM) terkemuka di Indonesia. EXPERD diperkuat oleh para konsultan dan staf yang sangat berpengalaman dan memiliki komitmen penuh untuk berkontribusi pada perkembangan bisnis melalui layanan sumber daya manusia.

Membangun EQ Pemimpin

Kompas.com - 15/01/2022, 17:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAMA 20 tahun terakhir, para ahli pemasaran mulai menyadari bahwa cara mengiklankan produk yang hanya menonjolkan fitur tidak lagi begitu efektif.

Pasalnya, banyak orang membeli sebuah produk karena alasan emosional, seperti senang dengan tokoh iklannya. Sebaliknya, menurut sebuah penelitian, hanya 15 persen orang yang membeli atas dasar rasionalitas.

“People often buy on emotion and backfill with logic”, kata seorang marketer profesional. Jadi, what it makes me feel menjadi lebih penting daripada what it does for me.

Fakta tersebut membuat perusahaan-perusahaan global, seperti Google, Facebook, Apple, dan Mercedes-Benz, secara serius mendalami kebutuhan pelanggan serta menemukan emotional content dalam proses perancangan produk.

Nike juga dapat menjadi contoh selain perusahaan-perusahaan tersebut. Raksasa sportswear global ini memasarkan sepatu dengan konteks emosional yang sangat luas.

Sementara para marketer sibuk dengan emosionalitas manusia, ada satu area yang sering dilupakan orang, khususnya para pemimpin, yaitu bawahannya sendiri.

Banyak orang merasa bahwa connection atasan-bawahan memang sudah alami sehingga tidak memerlukan usaha khusus untuk mengembangkannya. Ada pula yang merasa, hubungan yang baik dengan bawahan membuat penyelesaian tugas menjadi lemah dan sasaran terancam sulit tercapai. Belum lagi ada atasan yang tidak mau berada dekat dengan bawahan karena khawatir wibawanya hilang.

Apa akibatnya? Tak jarang kita menyaksikan banyak lack of trust di antara para karyawan terhadap pemimpinnya. Ini ditunjukkan dengan sikap sinis karyawan terhadap sikap atasan dan tuntutan kerjanya.

Hal tersebut bersumber dari emosi. Jadi, tak ada pilihan, emosionalitas perlu diaduk dalam kultur setiap perusahaan.

Dunia memang sudah berubah. Dulu, sesudah industrial age, kita beranjak ke knowledge-based economy, yakni era ketika manajemen sumber daya manusia mulai dikelola.

Sekarang, kita sudah memasuki dunia connection-based economy. Pekerjaan sekarang lebih membutuhkan inteligensi emosi, seperti empati, kolaborasi, dan kreativitas.

Dalam suasana kepemimpinan yang mencekam dan menyakitkan hati, tidak mungkin kreativitas muncul. Hal ini malah menyebabkan kematian sikap kritis. Padahal, sikap ini merupakan cikal bakal kreativitas. Emotion is fundamental to being a human.

Apalagi, dalam dunia kerja yang sudah didominasi oleh para milenial, kita perlu memperhitungkan sifat, visi, dan ekspektasi para bawahan.

Sebuah hasil penelitian menunjukkan, kalangan milenial ingin menjalakan pekerjaan yang berdampak pada perusahaan. Bahkan, penelitian ini menemukan bahwa 67 persen dari populasi milenial lebih senang bekerja di perusahaan dengan social responsibility yang lebih besar.

Emotionally connective workplaces are more powerful than ever before. Emotion is core to any business relationship.

Jadi, sebanyak apa pun perusahaan mencetak keuntungan, bila keterlibatan emosional karyawan lemah, maka perusahaan ini tidak memiliki nilai tambah. Hanya dengan hubungan emosional, self-interest karyawan bisa sejalan dengan interest perusahaan.

Keterlibatan emosi karyawan juga perlu memperhatikan konteks bisnis perusahaan. Seorang atasan perlu memberi gambaran sejelas mungkin kepada bawahannya tentang pergerakan bisnis perusahaan dan manfaatnya untuk karyawan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung ke perusahaan.

Membangun perusahaan yang bermodal konektivitas emosi

Saat ini, sebagian besar nilai tambah perusahaan terletak pada keterampilan dan kreativitas manusia. Kebutuhan pelanggan yang senantiasa berubah membuat perusahaan juga secara agile bergerak mengikuti kemauan pasar.

Eileen RachmanDok. EXPERD Eileen Rachman

Bila karyawan mengandalkan atasan dan hanya bertindak sebagai robot yang menunggu perintah, perusahaan tidak bisa dinilai sebagai perusahaan yang kreatif.

Perusahaan seperti Southwest Airlines berani memanfaatkan sense of belongingness karyawan untuk bertahan pada masa sulit.

Dalam kegiatan town hall bersama seluruh karyawan, CEO Southwest Airlines Herb Kelleher mengumumkan bahwa tidak ada seorang pun karyawan yang akan dipecat. Namun, ia meminta seluruh karyawan untuk bekerja lebih keras.

Alhasil, Kelleher mendapatkan bantuan karyawan yang luar biasa untuk mempersingkat waktu boarding, check-in, dan kegiatan operasional perusahaan lainnya. Bahkan, dalam masa-masa sulit, karyawan bersedia menyumbangkan sebagian gajinya untuk mengurangi beban perusahaan.

Jadi, bagaimana kita memanfaatkan emosi dalam membangun kerja tim dan kekuatan aset manusia? Semua orang tahu, emosi itu penting, tetapi tidak semua hal dapat menggunakan emosi sebagai dasar memimpin.

Banyak orang berpikir bahwa menggunakan emosi dalam memimpin berarti harus mengekspresikan emosi. Padahal, ekspresi emosi tidak sepenuhnya diperlukan. Sambung rasa yang terjadi antara atasan dan bawahan lebih diperlukan. Tidak selamanya hubungan ini tampak dari ekspresi emosi.

Ada beberapa hal yang perlu menjadi panduan untuk menyambung rasa tersebut.

Pertama, berilah perhatian penuh pada apa yang dirasakan lawan bicara ketika memberi instruksi, menanyakan perkembangan proyek, atau menindaklanjuti tugas. Dari sana, kita dapat melanjutkan pembicaraan dengan hal-hal yang lebih personal dan mendalam.

Kedua, sebuah penelitian menunjukkan bahwa mood itu menular. Setiap orang mempunyai bad days. Namun, sebagai seorang pemimpin, mood negatif yang kita rasakan tidak boleh membebani tim.

Ketidakpuasan kita terhadap kinerja bawahan perlu dikomunikasikan dengan penuh pertimbangan. Dengan begitu, tidak timbul kekecutan hati yang dapat menyulitkan proses komunikasi sejajar antara atasan dan bawahan.

Ketiga, dalam memimpin, kita tidak bisa bersembunyi di balik kenyataan bahwa kita adalah sifat introver atau memiliki karakter yang tidak bisa ditebak perasaannya.

Pemimpin harus mengembangkan extraversion-nya, menggunakan emosi dan nilai yang dianut bawahan, serta berusaha mengarahkan bawahan sesuai dengan visi perusahaan.

Keempat, sikap pemimpin juga perlu konsisten dan penuh optimisme. Respek adalah awal dari hubungan yang jujur dan efektif. Kita pun perlu menyebarkan optimisme agar semua bawahan yakin, meskipun jalan perusahaan tidak selamanya mulus.

“For leaders, the first task in management has nothing to do with leading others, step one poses the challenge of knowing and managing oneself” – Daniel Goleman.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com