Pertama, kita perlu menentukan tujuan apakah investasi yang dilakukan jangkanya panjang atau pendek.
Apabila kita mulai dari modal kecil, pasti tujuannya bukan jangka pendek. Oleh karena itu, kita juga harus konsisten dan sabar menunggu hasilnya. Jangan terburu-buru menarik uang apabila target belum tercapai.
Yang kedua, kita juga harus memikirkan risiko. Saat mulai berinvestasi, jangan berpikir bahwa uang yang kita keluarkan akan menghasilkan keuntungan besar.
Pemilihan instrumen juga menentukan besar kecilnya risiko yang didapat. Pastinya, apabila kita berinvestasi di saham dan reksadana, keduanya memiliki risiko yang berbeda.
Untuk berinvestasi, gunakanlah ‘uang dingin’. Hal ini diperlukan agar uang kita tak hilang sepenuhnya.
Apabila gagal dalam berinvestasi, setidaknya, uang yang hilang bukanlah uang utama.
Cobalah untuk menentukan prioritas keuangan dan gunakan uang sisa dari kebutuhan utama untuk berinvestasi.
Terakhir, pilihlah perusahaan yang memiliki likuiditas tinggi. Kita bisa melihat dengan memperhatikan keadaan ekonomi di sekitar.
Misalnya, pada saat pandemi, perusahaan di sektor pariwisata, pasti grafiknya menurun. Sementara itu, perusahaan di bidang kesehatan mengalami kenaikan.
Instrumen investasi sangat menentukan besar kecilnya risiko yang kita dapat.
Untuk investasi modal kecil, risiko yang didapat tidaklah besar. Apalagi kita hanya mengeluarkan uang Rp 10.000 di reksadana.
Akan tetapi, hal ini tentu berbeda saat kita berinvestasi dengan saham karena risikonya cenderung lebih tinggi.
Sebagai pemula, kita dapat menggunakan reksadana pasar uang untuk berinvestasi modal kecil.
Selain itu, kita juga bisa melakukan crowdfunding–dengan teman yang dipercaya–apabila ingin menaikkan nominal investasi.
Anak muda adalah salah satu kelompok yang turut meramaikan dunia investasi. Bahkan menurut laporan KSEI per 30 September 2021, jumlah investor pasar modal dengan profesi pelajar mencapai 27,55 persen dengan total aset Rp 15,40 triliun.