Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CIPS: Kesenjangan Harga Pupuk Timbulkan Potensi Penyelewengan

Kompas.com - 01/02/2022, 21:30 WIB
Elsa Catriana,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kesenjangan antara harga pupuk nonsubsidi dan pupuk bersubsidi mengancam produktivitas pertanian nasional.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta mengatakan, harga bahan baku pupuk melambung tinggi akibat larangan ekspor fosfat yang diberlakukan pemerintah China.

“Dalam situasi kenaikan harga pupuk mengikuti kenaikan harga komoditas, harga pupuk bersubsidi bisa tetap sama karena dijamin oleh HET. Hal ini menyebabkan kesenjangan harga yang semakin besar dengan pupuk nonsubsidi dan membuatnya semakin tidak kompetitif,” jelas Aditya Alta dalam siaran persnya, Selasa (1/2/2022).

Baca juga: Selewengkan 4 Ton Pupuk Subsidi, Kios di Nganjuk Dikenai Sanksi

Dia menilai, seharusnya, kenaikan harga bahan baku pupuk saat ini hanya berdampak pada pupuk nonsubsidi, karena harga pupuk bersubsidi sudah diatur untuk tidak melebihi HET.

Aditya mengatakan, jika ada kenaikan biaya bahan baku seperti sekarang yang berdampak pada kenaikan ongkos produksi, akan diselesaikan oleh pemerintah bersama produsen pupuk bersubsidi.

Namun demikian, kesenjangan harga yang sangat lebar antara pupuk bersubsidi dan non-subsidi menyuburkan peluang untuk menyelewengkan pupuk bersubdisi ke pasar komersial.

Contohnya dibeberkan dia adalah dengan temuan-temuan terbaru penjualan oleh kios pupuk dengan harga di atas HET dan kepada penerima yang tidak terdaftar di e-RDKK.

Kenaikan harga pupuk nonsubsidi pun dinilai turut mengurangi pilihan input pertanian yang tepat untuk kondisi lahan spesifik yang diusahakan petani.

Baca juga: Langgar Aturan, Toko Ini Diberhentikan sebagai Kios Resmi Pupuk Bersubsidi

Walaupun sebagian besar petani Indonesia adalah petani kecil dengan luas lahan kurang dari 2 hektar, pupuk nonsubsidi terkadang digunakan sebagai alternatif jika pupuk bersubsidi tidak tersedia atau untuk memenuhi kebutuhan unsur hara tertentu.

Sementara itu, perkebunan besar seperti sawit dan tebu bergantung pada pupuk nonsubsidi karena mereka tidak berhak mengakses pupuk bersubsidi. Kondisi ini bisa berakibat pengurangan produktivitas atau kenaikan harga pada komoditas-komoditas perkebunan ini.

Aditya juga mengatakan, program pupuk bersubsidi sendiri perlu dievaluasi efektivitasnya karena belum mampu meningkatkan produksi komoditas pangan pokok, misalnya saja beras.

Dengan porsi anggaran subsidi non-energi terbesar dengan rerata tahunan mencapai Rp 31,53 triliun di periode 2015-2020, reformasi kebijakan pupuk nasional cukup mendesak untuk dilakukan, termasuk dengan mengevaluasi mekanisme subsidi dan merencanakan penghapusan bertahap.

“Tidak efektifnya kebijakan ini terlihat dari tidak adanya korelasi antara peningkatan alokasi anggaran program dengan capaian produktivitas tanaman,” tambah Aditya.

Dia juga membeberkan, berdasarkan hasil penelitian CIPS menunjukkan tren produktivitas padi dan kedelai cenderung stagnan dari 2014-2019.

Pada tahun 2020, sasaran produksi padi adalah 59,15 juta ton GKG. Sementara realisasi produksi hanya 54,65 juta ton.

Angka sementara produksi padi 2021 adalah 55,27 juta ton GKG, menunjukkan bahwa target ini tidak tercapai.

Aditya merekomendasikan supaya pemerintah memberikan akses lebih besar kepada pupuk nonsubdisi lewat pembayaran langsung atau direct payment, karena akan langsung masuk ke rekening penerima dan tidak memerlukan waktu distribusi panjang seperti pada bantuan barang.

"Mekanisme ini juga akan meniadakan kesenjangan harga yang timbul dari penerapan subsidi terhadap merek pupuk tertentu saja," ungkap dia.

Dia menambahkan, saldo bantuan juga harus dipastikan tidak dapat ditarik tunai tetapi bisa dibelanjakan untuk berbagai jenis input sesuai dengan kebutuhan dan dibelanjakan di mana saja jika infrastruktur pendukung seperti EDC tersedia.

Baca juga: Kawal Pupuk Subsidi, Kementan Minta Pemda Proaktif Bantu Petani

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com