Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Penguatan Birokrasi Pertambangan dan Dukungan untuk Presidensi G20

Kompas.com - 04/02/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERUBAHAN pola konsumsi masyarakat dunia kini telah dan akan semakin berubah ke penggunaan energi dan material yang lebih ramah lingkungan (eco friendly).

Perkembangan ini telah dan akan terus juga mendisrupsi trend pertambangan global.

Pada tahun 2020, konsumen dunia menghabiskan total sekitar 120 miliar dollar AS untuk pembelian mobil listrik yang dianggap lebih ramah lingkungan (iea, 2022).

Angka ini meningkat 50 persen dari tahun 2019, walaupun di tengah tekanan pandemi Covid-19.

Kecenderungan ini menjelaskan proyeksi peningkatan permintaan nikel dunia sebagai bahan baku baterai untuk kendaraan listrik.

Kebutuhan nikel dalam elektrifikasi otomotif diperkirakan akan meningkat secara signifikan dari 92.000 ton pada tahun 2020 menjadi 2,6 juta ton pada tahun 2040 (Fraser et al., 2021).

Indonesia berpeluang diuntungkan dari menguatnya permintaan ini. Data dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa Indonesia sendiri sesungguhnya menguasai 72 juta ton nikel, atau sekitar 52 persen dari total cadangan nikel dunia.

Indonesia lalu menargetkan peningkatan produksi nikelnya dari 28 persen pangsa pasokan dunia pada tahun 2020 menjadi 50 persen dari pasokan dunia pada tahun 2025.

Jika dikelola dengan baik, maka pertambangan dapat menghasilkan banyak manfaat yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Pertambangan, misalnya, terbukti telah memberikan lapangan pekerjaan yang layak dan mendukung pertumbuhan ekonomi (SDG 8), serta mengentaskan kemiskinan (SDG 1) dan kelaparan (SDG 2).

Namun, pengelolaan yang buruk dapat mengakibatkan sektor pertambangan bisa bertentangan dengan SDGs.

Contohnya adalah polusi yang dihasilkannya, hilangnya keanekaragaman hayati, serta kemunduran sosial ekonomi setelah penutupan tambang.

Pusat-pusat pengolahan mineral di Indonesia tumbuh seiring dengan kebijakan kewajiban pengolahan dalam negeri.

Aktivitas penambangan juga menjamur di daerah-daerah di Nusantara yang kaya mineral.

Nyaris setiap jengkal tanah di Sulawesi Tenggara, misalnya, telah dikapling oleh perusahaan-perusahaan nikel.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com