Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

CIPS: Mitos Predatory Pricing Rugikan Perkembangan Pasar Digital

Kompas.com - 07/02/2022, 17:47 WIB
Elsa Catriana,
Akhdi Martin Pratama

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kebijakan pemerintah untuk merespons kekhawatiran praktik predatory pricing atau tarif predator di pasar digital Indonesia dengan cara membatasi impor tidak hanya akan merugikan konsumen tetapi juga produsen.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu mengatakan, penjual eceran domestik juga akan merasakan dampaknya.

“Setelah menurunkan ambang batas bea masuk untuk transaksi lintas negara di awal tahun 2020, pemerintah kini mewacanakan pembatasan perdagangan barang impor di pasar online demi mencegah produsen asing menguasai pasar dengan menjual dengan tarif predator atau jauh di bawah biaya produksi,” ujar Thomas Dewaranu dalam siaran persnya, Senin (7/2/2022).

Baca juga: Smart Aviation Buka Suara Soal Kontrak Sewa Hanggar di Bandara Malinau

Thomas menilai, pemerintah tidak memiliki bukti bahwa praktik predatory pricing terjadi di pasar digital di Indonesia. Asumsi yang belum terbukti ini menjadi salah satu yang mendasari revisi Peraturan Kementerian Perdagangan Nomor 50/2020.

“Harga yang lebih murah yang didapatkan lewat efisiensi skala produksi dan kompetisi yang sehat tentu sah-sah saja dan bukan merupakan tarif predator,” jelasnya.

Mengkategorikan produsen yang berhasil memperluas porsi pasarnya dengan produktivitas yang tinggi atau pengelolaan biaya yang baik sebagai “predator” justru akan menghambat kompetisi dan inovasi di pasar.

Padahal, menurut dia, kompetisi dan inovasi dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas produk dan daya saing mereka.

Baca juga: Bandara Soekarno Hatta Tetap Menerima WNI dan WNA dari Luar Negeri Tujuan Wisata

Pada prinsipnya, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai praktik tarif predator apabila memenuhi tiga kondisi, yaitu perusahaan predator menetapkan harga di bawah biaya produksi, mengalahkan pesaing untuk mendominasi pasar dan setelahnya menetapkan harga yang sangat tinggi untuk menutup kerugian mereka.

Ketiadaan unsur-unsur ini membuat pelabelan tarif predator pada pelaku usaha menjadi tidak berdasar.

Memang diakui Thomas, membedakan antara harga predator dan harga kompetitif memang tidak mudah. Tapi bisa mengacu pada pedoman yang sudah dikeluarkan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang memberikan berbagai opsi pengujian untuk menentukan apakah rendahnya harga suatu barang dapat dikategorikan sebagai predatory pricing.

Pangsa pasar yang kecil dari pelaku usaha asing dengan sendirinya mengurangi kemungkinan terjadinya praktik tarif predator, karena akan sangat tidak efisien bagi mereka untuk memaksa mendorong para pelaku usaha lokal keluar dari pasar hanya dengan instrumen harga.

“Selanjutnya, penggunaan sistem kuota juga tidak tepat karena tidak transparan dan menutup peluang pelaku usaha kecil untuk mengakses bahan baku atau barang konsumsi dengan harga yang lebih terjangkau,” imbuh Thomas.

Sebaliknya, dukungan terhadap UMKM harus menjadi prioritas revisi Permen Nomor 50/2020. Mengurangi hambatan dalam memasuki pasar digital dengan menimbang ulang pemberlakuan persyaratan Surat Izin Usaha Perdagangan Elektronik (SIUPMSE) bagi penjual online dengan website yang dikelola sendiri dapat dipertimbangkan untuk mendorong lebih banyak UMKM memasuki pasar digital.

Baca juga: Bentengi Daerah Luar Jawa-Bali dari Penyebaran Omicron, Ini Langkah Pemerintah

Semakin banyak UMKM yang berpartisipasi di perdagangan online, perusahaan predator akan sulit membebani konsumen dengan harga tinggi di kemudian hari untuk menutup kerugian mereka di awal, karena hal ini hanya akan membuat konsumen beralih ke pelaku usaha lain yang dapat menawarkan harga yang lebih rendah.

Thomas juga mengatakan, apabila Kementerian Perdagangan tidak dapat membuktikan adanya predatory pricing, menghukum produsen dengan harga rendah akan menjadi manuver yang berbahaya yang tidak hanya merugikan konsumen dan UMKM dalam negeri, tetapi juga akan mengakibatkan berlakunya harga pasar yang lebih mahal dari harga optimal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com