Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan YLKI Bikin Petisi Online: Bongkar Dugaan Kartel Minyak Goreng

Kompas.com - 13/02/2022, 00:06 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tengah menggalang sebuah petisi di change.org terkait langkanya minyak goreng dan harganya yang melambung dalam beberapa waktu terakhir.

Sejak dibuka pada 3 Februari lalu, hingga hari ini petisi telah ditandatangani oleh ribuan orang. Setelah mendapatkan dukungan yang cukup, maka YLKI akan mengirimkan data hasil petisi kepada ketua KPPU.

Dikutip dari Kompas TV, Minggu (13/2/2022), Ketua YLKI Tulus Abadi menuturkan empat alasan pihaknya mengadakan petisi online tersebut. Semua mengarah pada anomali, yakni tingginya harga minyak goreng di negara produsen sawit terbesar dunia.

"Pertama, kelangkaan dan melambungnya minyak goreng bukan persoalan hilir, tetapi hulu," kata Tulus dalam keterangannya.

Baca juga: Siap Susul Minyak Goreng, Harga Tempe Tahu Diperkirakan Bakal Naik

Menurut dia, upaya pemerintah di hilir seperti pemberian subsidi yang digelontorkan melalui para produsen minyak dinilai kurang tepat.

Terbukti, uang negara sebesar itu tak cukup berarti banyak dalam membuat penurunan harga di lapangan. Yang terjadi, justru kerap terjadi kelangkaan minyak goreng.

YLKI, kata dia, khawatir apa yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi polemik stok dan harga minyak goreng yang hanya berkutat di persoalan hilir, tidak akan menyelesaikan persoalan yang ada.

"Dan terbukti sampai detik ini apa yang digagas pemerintah belum membuahkan hasil," ujarnya.

Baca juga: Ironi Negeri Kaya Sawit, Rakyatnya Antre Berjam-jam demi Minyak Goreng

Alasan kedua, untuk mendorong percepatan penyelidikan terhadap dugaan kartel, dan bentuk persaingan tidak sehat dalam minyak goreng oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Warga mengantri beli minyak goreng dalam operasi pasar minyak goreng dan gula pasir di Wonodadi, Blitar, Jawa Timur,  Kamis (10/2/2022). Operasi pasar minyak goreng murah dengan harga Rp13 ribu per liter sesuai harga eceran tertinggi (HET) pemerintah itu digelar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan komoditas minyak goreng yang semakin langka dan harga yang terus melambung hingga di atas Rp20 ribu per liter. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/foc.Destyan Sujarwoko Warga mengantri beli minyak goreng dalam operasi pasar minyak goreng dan gula pasir di Wonodadi, Blitar, Jawa Timur, Kamis (10/2/2022). Operasi pasar minyak goreng murah dengan harga Rp13 ribu per liter sesuai harga eceran tertinggi (HET) pemerintah itu digelar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan komoditas minyak goreng yang semakin langka dan harga yang terus melambung hingga di atas Rp20 ribu per liter. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/foc.

"Kami melihat KPPU sudah mencoba mengendus adanya dugaan kartel tersebut. Namun, KPPU belum memiliki trigger (pemicu) yang kuat membongkar dugaan praktek kartel minyak goreng," jelasnya.

"Setelah kami petisi, memang kami baca di media jika kemudian KPPU ikut bergerak untuk melakukan pemanggilan terhadap para pelaku usaha yang diduga melakukan praktek-praktek kartel tersebut," imbuh Tulus.

Ketiga, untuk menunjukkan pada pemerintah bahwa kebijakan di sisi hilir yang telah dilakukan, tidak tepat.

Keempat, untuk melibatkan publik sebagai konsumen minyak goreng dalam mendorong adanya perubahan kebijakan atau policy change.

Baca juga: Sederet Janji Mendag dan Realita Masih Mahalnya Harga Minyak Goreng

"Perubahan ini tanpa melibatkan publik itu menjadi sebuah upaya yang kurang kuat, hingga petisi online itu kami lakukan untuk menciptakan kecerdasan publik dalam isu-isu publik seperti minyak goreng ini," ungkapnya.

Kecurigaan YLKI

Tulus Abadi mengaku tak habis pikir dengan meroketnya harga minyak goreng di negara penghasil sawit terbesar di dunia.

Ia bilang, minyak goreng merupakan produk turunan dari minyak sawit (CPO) yang merupakan produk dalam negeri. Namun anehnya dijual untuk masyarakat di dalam negeri dengan patokan harga global.

"Kita kan penghasil CPO terbesar, kita eksportir bukan importir, jadi bisa menentukan harga CPO domestik. Jangan harga internasional untuk nasional," ujar Tulus dalam pesan singkatnya.

Menjual minyak goreng dengan harga mahal di dalam negeri tentunya mencedarai konsumen. Mengingat sejatinya, perusahaan besar juga menanam sawitnya di atas tanah negara melalui skema hak guna usaha (HGU).

Baca juga: Produsen Minyak Goreng Mengaku Dibuat Bingung Aturan Pemerintah

Lahan negara yang diberikan kepada pengusaha sawit swasta lewat HGU sendiri merupakan pengejawantahan UUD 1945 Pasal 33, di mana bumi dan segala kekayaan alam di dalamnya harus dipergunakan untuk kemakmuran masyarakat.

Di sisi lain, pemerintah juga banyak membantu pengusaha kelapa sawit dengan membantu membeli CPO untuk kebutuhan biodiesel. Bahkan pemerintah membantu pengusaha sawit swasta dengan mengucurkan subsidi biodiesel besar melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Saat harga minyak sawit dunia naik, tak seharusnya pemain besar produsen minyak goreng menjual produknya dengan harga mahal yang membebani masyarakat.

Tangkapan layar video unggahan di Facebook terkait kaum ibu berebut membeli minyak goreng di Pringsewu.KOMPAS.COM/DOK. Dhavid Pudja/Facebook Tangkapan layar video unggahan di Facebook terkait kaum ibu berebut membeli minyak goreng di Pringsewu.

Soal kenaikan harga karena alasan banyaknya pabrik minyak goreng yang tidak terintegrasi alias tidak memiliki kebun sawit juga tidak masuk akal.

Ini karena hampir semua pemain besar produsen minyak goreng juga menguasai perkebunan kelapa sawit. Minyak goreng yang diproduksi para pemain besar juga ikut melonjak.

Baca juga: Produsen Beberkan Penyebab Kelangkaan Minyak Goreng di Negeri Kaya Sawit

"Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoli. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat," kata Tulus.

Kartel sendiri merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama satu sama lain untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan menaikan harga, sehingga pada akhirnya konsumen yang dirugikan.

Kasus dugaan kartel minyak goreng di 2009

Dugaan kartel dalam minyak sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Dikutip dari pemberitaan Kontan 4 Juni 2009, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencurigai praktek kartel minyak goreng di pasar Indonesia.

Direktur Komunikasi KPPU Ahmad Junaidi saat itu menegaskan, KPPU kini mulai menyelidiki dan sedang mengumpulkan data untuk membuktikan kecurigaannya itu.

Baca juga: Pemerintah Beberkan Alasan Harga Minyak Goreng Belum Juga Turun

KPPU memang layak curiga ada kartel. Sebab, harga minyak goreng lokal sulit turun dan seolah tak berhubungan dengan harga minyak sawit yang menjadi bahan baku utama.

"Kami terus melakukan monitoring," kata Junaidi kala itu.

Sejak Mei lalu, harga minyak goreng curah di pasar bertahan di kisaran Rp 10.000 per kilogram. Komisis Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU menduga ada kartel oleh delapan perusahaan.

Perusahaan besar tersebut yakni Bukit Kapur Reksa Grup, Musimmas Grup, Sinarmas Grup, Sungai Budi Grup, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I hingga IV, Berlian Eka Sakti, Raja Garuda Mas, dan Salim Grup.

Ilustrasi kebun kelapa sawit terbesar di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan.Sinar Mas Agribusiness and Food Ilustrasi kebun kelapa sawit terbesar di Indonesia. Perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia terdapat di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Baca juga: Gara-gara Disubsidi Pemerintah, Minyak Goreng Kini Hilang dari Rak Minimarket

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com