Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Adopsi Investasi Hijau Masih Sulit, Bos BI Beberkan 3 Strateginya

Kompas.com - 18/02/2022, 11:43 WIB
Fika Nurul Ulya,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, saat ini sektor publik maupun swasta masih sulit mengakses dan mengadopsi instrumen keuangan berkelanjutan (sustainable finance instrument/SFI).

Hal ini tak terlepas dari belum beragamnya instrumen hingga belum masifnya ekosistem keuangan berkelanjutan.

Padahal, instrumen ini sudah menunjukkan tren perkembangan yang baik sejak tahun 2007. Tidak hanya dari segi volume, namun ragam instrumennya.

"Banyak sektor publik dan swasta masih menghadapi tantangan, terutama dalam mengakses dan mengadopsi instrumen ini," kata Perry dalam seminar side event G20 Indonesia di Jakarta, Jumat (18/2/2022).

Baca juga: Ancaman Perubahan Iklim Bisa Lebih Besar dari Pandemi, Sri Mulyani Tagih Komitmen Negara G20

Perry mengungkapkan, bank sentral sudah menyiapkan 3 langkah untuk mengembangkan akses instrumen keuangan hijau. Namun untuk mengembangkannya secara masif, negara anggota G20 harus bekerja sama.

Kerja sama negara anggota G20 meliputi menciptakan dan merumuskan standar, alat penyelarasan pasar termasuk persyaratan pelaporan dan pengungkapan, metrik data LST, dan layanan verifikasi.

"Tidak hanya dari sisi instrumen, penting bagi pemerintah, otoritas sektor keuangan, dan sektor swasta untuk sama-sama menciptakan ekosistem keuangan berkelanjutan yang akan mendukung peningkatannya," tutur Perry.

Baca juga: Wamenkeu: Perbankan Bakal Lebih Selektif, Hanya Berikan Kredit buat Ekonomi Hijau

Tiga langkah ciptakan ekosistem keuangan berkelanjutan

Langkah pertama yaitu meningkatkan ketersediaan instrumen hijau dan investasi hijau. Menurut perry, ketersediaan ini mampu mendorong ekonomi hijau yang berkelanjutan dan mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif.

Jika instrumennya sudah tersedia, investasi bisa ditujukan untuk energi hijau, transportasi hijau, bangunan hijau, dan lain-lain. Hal ini dapat menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja baru.

"Ini akan membantu transisi menuju ekonomi dan keuangan yang lebih berkelanjutan, juga mengurangi emisi gas rumah kaca, sesuai dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement tahun 2030 dan SDGs PBB," beber Perry.

Baca juga: Jika Tak Terapkan Ekonomi Hijau, Indonesia Sulit Jadi Negara Maju 2045

Langkah kedua adalah membangun ekosistem instrumen keuangan yang berkelanjutan. Untuk itu, pihak berwenang dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu membuat kebijakan yang mendukung, baik kebijakan insentif maupun disinsentif, maupun bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya.

Dukungan bisa berupa membuat taksonomi hijau, menyediakan layanan verifikasi, menjadi penerbit sertifikat hijau, dan menyediakan layanan peringkat hijau.

"Perbankan dan korporasi sebagai pemain besar di sektor keuangan juga harus bersinergi untuk mencapai target penurunan emisi karbon dalam mitigasi risiko perubahan iklim," jelas Perry.

Langkah terakhir, meningkatkan kapasitas dan bantuan teknis yang berkelanjutan. Perry bilang, hal ini penting untuk meningkatkan pemahaman dan keahlian otoritas global maupun domestik, industri, dan pelaku pasar.

Oleh karena itu, BI meyakini upaya bersama antara pemerintah, otoritas, serta pelaku pasar akan menjadi motor penggerak percepatan pembangunan nasional yang hijau dan berkelanjutan.

"Inilah yang saya sebut “The Power of We”, karena keberhasilan pekerjaan kita akan ditentukan oleh kekuatan semangat tim, kebersamaan, dan saling mendukung secara positif," tandas Perry.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com