"Selain itu, keuntungan per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi,” ujar Made dikutip dari Kontan.
Baca juga: Sederet Jejak Digital Janji Jokowi Setop Impor Kedelai
Made menambahkan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar. Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam.
Made memperkirakan, rata-rata impor kedelai Indonesia mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain.
Sementara itu, rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun. Indonesia sebenarnya pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1992. Saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton.
Sementara, saat ini produksi kedelai menyusut drastis tinggal di bawah 800.000 ton per tahun dengan kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton, terbanyak untuk diserap industri tahu dan tempe.
Kedelai lokal unggul dari impor dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya pun lebih tingi, dan resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik.
Baca juga: Harga Kedelai Impor Meroket, Perajin Tempe Tahu: Kami Prihatin
Sementara kedelai impor sebaliknya. Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe.
Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama. Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya.
Bahkan bisa kurang empuk. Dalam hal budidaya kedelai baik lokal maupun impor punya kelebihan masing-masing. Kedelai lokal memeliki umur tanaman lebih singkat 2,5 - 3 bulan daripada impor yang mencapai 5 - 6 bulan.
Benihnya pun lebih alami dan non-transgenik. Akan tapi dalam hal produktivitas dan luas lahan, kedelai impor lebih tinggi. Bila varietes lokal umumnya masih berproduksi di bawah 2 ton per hektare, maka impor bisa mencapai 3 ton per hektarenya.
Biji impor pun umumnya lebih besar. Lemahnya produktivitas kedelai lokal tersebut tidak didukung oleh industri perbenihan yang kuat, mekanisasi usaha tani berskala besar serta efisien, dan juga lahan khusus kedelai yang luas.
Baca juga: Terus-terusan Impor, Apa Kabar Janji Jokowi soal Swasembada Kedelai?
"Ya petani kan rasional. Dari pada menanam kedelai ya lebih baik menanam beras dan jagung. Kecuali ada intervensi khusus dari pemerintah. Nah, itu bisa lain ceritanya," kata Made.
Menurut catatan Trading Economics, harga kedelai telah menyentuh 16 dollar AS per gantang. Grafik harga cenderung meningkat sejak November 2021 atau setelah sempat turun hingga 11,66 dollar AS per gantang. Sementara harga tertinggi tahun lalu mencapai 16,61 dollar AS per gantang, pada 12 Mei 2021.
Harga kedelai di tingkat importir Indonesia pada pekan pertama Februari 2022 mencapai Rp 11.240 per kg. Di tingkat produsen tahu dan tempe di DKI Jakarta, harga kedelai impor mencapai Rp 12.000 per kg. Dengan harga kedelai sebesar itu, sebagian produsen tahu tempe memilih berhenti produksi untuk sementara.
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Subejo, berpendapat, naiknya harga kedelai impor yang berimbas pada produksi tahu tempe di Tanah Air adalah persoalan yang berulang tiap tahun. Produksi kedelai dalam negeri memang tidak mencukupi kebutuhan. Akan tetapi, perlu ada pembenahan dari hulu ke hilir.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.