Sementara untuk produk kedelai lokal Indonesia seluruhnya dipastikan terbebas dari GMO, bahkan bisa dikatakan merupakan produk organik yang sehat bagi tubuh.
"Kalau kedelai kita tidak ada rekayasa genetik, organik. Menurut saya itu lebih sehat sebetulnya," ujarnya.
Baca juga: Hutan Dibabat demi Sawit, Tapi Minyak Goreng Justru Langka dan Mahal
Oleh karena itu, kandungan gizi yakni, protein yang lebih tinggi dan metode penanaman yang organik membuat kedelai lokal memiliki rasa yang lebih enak dibandingkan dengan kedelai impor.
Itulah, menurut Yuris, yang menjadi alasan mengapa rasa tempe dan tahu di sentra produksi kedelai seperti Jawa Tengah memiliki rasa yang lebih gurih dibandingkan tahu dan tempe yang diproduksi dari kedelai impor.
Namun, tentu saja selain kelebihan, kedelai lokal juga memiliki kelemahan yaitu, hasil panen yang tidak terstandar. Banyak petani kedelai yang memanen kedelai yang masih hijau sehingga produk akhirnya bercampur antara kedelai yang hijau dan kuning.
Selain itu, Yuris mengungkapkan bahwa tren produksi kedelai di Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun. Menurunnya produksi tersebut lantaran banyak petani kedelai yang beralih ke komoditas lain yang dinilai lebih menguntungkan ketimbang menanam kedelai.
Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia Made Astawan mengatakan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar setengah dari produktivitas kedelai di AS.
Baca juga: Ironi Negeri Kaya Sawit, Rakyat Saling Dorong Berebut Minyak Goreng
"Selain itu, keuntungan per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi,” ujar Made dikutip dari Kontan.
Made menambahkan, produktivitas kedelai di Indonesia berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar. Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam.
Made memperkirakan, rata-rata impor kedelai Indonesia mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain.
Sementara itu, rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun. Indonesia sebenarnya pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1992. Saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton.
Sementara, saat ini produksi kedelai menyusut drastis tinggal di bawah 800.000 ton per tahun dengan kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton, terbanyak untuk diserap industri tahu dan tempe.
Baca juga: Harga Kedelai Impor Meroket, Perajin Tempe Tahu: Kami Prihatin
Kedelai lokal unggul dari impor dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya pun lebih tingi, dan resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik.
Sementara kedelai impor sebaliknya. Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe.
Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama. Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya.