BEBERAPA perusahaan raksasa dunia yang kita kenal kini berakhir menjadi sebuah legenda. Contohnya, perusahaan telekomunikasi asal Finlandia, Nokia, yang namanya mulai tenggelam tersaingi perusahaan lain.
“Kami tidak melakukan kesalahan apa pun, tapi entah mengapa kami kalah,” kata CEO Nokia Stephen Elop.
Kalimat Stephen itu menunjukkan betapa ia tidak menyadari bahwa perusahaannya telah terlena dan lalai dalam memikirkan strategi terhadap perubahan yang sebetulnya terjadi di depan mata sehingga membuat perusahaannya terbenam.
Di tempat lain, CEO Toys "R" Us David Brandon menyadari bahwa penurunan angka penjualan perusahaannya secara drastis diakibatkan kebijakan-kebijakannya yang terlambat dilaksanakan. Hal ini ia ungkapkan ketika banyak orang menuduh Amazon yang mematikan bisnis Toys “R” Us. Nyatanya, Amazon merangkul Toys ”R” Us untuk bekerja sama.
New normal sebenarnya bukan terjadi ketika pandemi saja. Ketika disrupsi sudah tidak terkontrol, media daring menghantam media cetak. Hak cipta pun makin sulit dipertahankan karena modifikasi semakin mudah dilakukan.
Oleh karena itu, kemampuan pemimpin untuk mengendalikan armadanya sangat diandalkan. Sebab, dunia bisnis di era new normal memiliki karakter berbeda dengan dunia bisnis 20 tahun lalu.
Saat ini, selain dipengaruhi oleh tekanan finansial dan aspek-aspek geopolitik, kompetisi bisnis juga diwarnai dengan perubahan teknologi pesat yang membutuhkan ketajaman analisis data. Hal ini tak jarang membuat pemimpin dengan pola lama kewalahan mengembangkan pemikirannya.
Bisa dikatakan, pemimpin era terdahulu dimanjakan oleh kenyamanan kondisi ekonomi pada masa tersebut. Mindset ini tidak dapat diterapkan dalam dunia yang penuh dengan kejutan ini. Beberapa studi menemukan bahwa pemimpin-pemimpin terdahulu banyak kehilangan keterampilan berpikir kritis.
Hal tersebut dibuktikan dengan banyak keputusan yang dibuat berdasarkan informasi yang tidak lengkap dan tidak adanya keseriusan untuk mempelajari kembali langkah-langkah yang salah.
Bila mengharapkan hasil berbeda, perusahaan memang harus melakukan banyak hal dengan cara yang berbeda pula. Perubahan ini harus dimulai dari cara berpikir pemimpinnya. Thinking drives behaviour, behaviour drives results.
Profesor Ilmu Psikologi Diane Halpern dalam bukunya Thought and Knowledge menulis, berpikir kritis adalah keterampilan kognitif yang meningkatkan probabilitas kesuksesan. Berpikir kritis adalah pemikiran yang bertujuan, beralasan, serta memiliki sasaran dalam pemecahan masalah dan membuat keputusan.
Berdasarkan riset terbaru yang dilakukan Executive Development Associates (EDA) setiap 2 tahun, ternyata hot topics dari pengembangan eksekutif adalah kepemimpinan, business acumen, manajemen strategis, dan people management. Hal yang pasti, berpikir kritis menjadi dasar dari semua keterampilan tersebut.
Pada dasarnya, berpikir kritis adalah kemampuan untuk menangani kontradiksi dan pemecahan masalah yang kompleks dengan mempertimbangkan alasan, tujuan, dan produktivitas yang kuat. Keputusan-keputusan dibuat berdasarkan pendekatan yang adil, obyektif, tepat, dan didasari informasi yang relevan dengan situasi. It is thinking with a purpose.
Dalam tingkat tertentu, berpikir kritis mengandung dosis kecil dari bersikap skeptis. Selain itu, berpikir kritis juga harus selalu reflektif dan mengevaluasi diri apakah pemikiran kita masih di jalur yang benar.
Pengukuran kemampuan berpikir kritis dipelopori oleh Watson-Glaser pada 1925. Meski dicetuskan hampir 100 tahun lalu, konsep ini tetap relevan karena di dalamnya menjelaskan tentang bagaimana individu mengambil kesimpulan, menyadari akan asumsi-asumsinya, mengabstraksikan suatu situasi, serta mengartikan dan mengevaluasi argumen-argumen.
Pemimpin yang kuat dalam berpikir kritis akan lebih mengerti bahwa keputusan-keputusannya dapat memengaruhi perusahaan secara internal ataupun eksternal. Ia juga dapat menyeimbangkan isu-isu antardepartemen, membayangkan keterkaitan bagian-bagian tersebut dalam totalitas organisasi, serta mempertanggungjawabkan dampak-dampak yang terjadi dengan pertimbangan yang lebih luas dan antisipatif.
Context is key. Berpikir kritis juga berarti melihat dalam perspektif yang lebih luas, seperti memandang suatu situasi dari ketinggian sekaligus mampu melihat detail-detail di dalamnya. Ini adalah tipe kepemimpinan yang dibutuhkan dalam situasi new normal.
Setiap individu, apalagi yang sudah menduduki posisi pemimpin, seharusnya memiliki semangat untuk menjaga kesehatan berpikir kritisnya. Artinya, ia perlu menjaga kesehatan pikirannya dalam mengambil keputusan, menyadari asumsi-asumsinya, dan selalu mencari informasi sampai tuntas.
"There is a large body of evidence showing that people can learn to think better”.
Cara yang paling tepat untuk mengasah cara pikir adalah memperhatikan respons-respons kita terhadap isu tertentu, merefleksikannya, dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan baru yang relevan dengan tuntutan serta sasaran saat ini.
Berikut beberapa contoh pertanyaan kritis yang dapat kita ajukan untuk diri sendiri sebagai bahan pertimbangan sebelum membuat keputusan.
Apakah kita terlalu cepat mengambil kesimpulan? Apakah kita tidak dipengaruhi “bias”? Apakah kita banyak berasumsi?
Selain itu, kita juga dapat meminta masukan dari orang lain mengenai solusi-solusi alternatif yang menjadi bahan pertimbangan kita.
Apakah keputusan-keputusan kita sejalan dengan arah perusahaan? Apakah pengetahuan kita tentang industri yang sedang digeluti ini cukup update dan memadai?
Apakah kita sudah mengajukan pertanyaan yang tepat? Apakah sudah mencari tahu pendapat orang lain mengenai isu yang sedang kita hadapi? Apakah kita sudah menggunakan sumber informasi yang cukup bervariasi untuk memotret isu dari berbagai arah? Apakah analisis kita sudah cukup menyeluruh?
Apakah Anda tergesa-gesa dalam mengambil keputusan? Apakah Anda dapat menjauhkan diri dari distraksi? Apakah Anda tetap menunggu waktu yang tepat untuk berefleksi sebelum keputusan diambil?
“Kita mencoba membuktikan diri kita salah secepat mungkin karena hanya dengan cara itu, kita dapat menemukan kemajuan,” Richard Feynman.