Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Indonesia Tak Blokir Bank Rusia seperti Singapura? Ini Untung Ruginya

Kompas.com - 08/03/2022, 06:00 WIB
Aprillia Ika

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia masih bersikap netral menyikapi perang Rusia-Ukraina. Walau, Ukraina secara resmi meminta dukungan Indonesia dalam menghadapi perang dengan Rusia melalui surat terbuka pada awal Maret 2022.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendirisudah beberapa kali mengeluarkan pernyataan terkait invasi Rusia ke Ukraina melalui akun Twitter-nya.

Presiden Jokowi meminta kedua negara tersebut untuk berhenti perang, karena menyengsarakan umat manusia, dan membahayakan dunia.

Baca juga: Singapura Jadi Negara Pertama di Asean yang Blokir 4 Bank Milik Rusia

Lantas, mengapa Indonesia tak menjatuhkan sanksi ke Rusia dengan memblokir perbankannya seperti yang dilakukan Singapura? 

Seperti diketahui, negara ASEAN pertama yang memberikan sanksi kepada Rusia atas invasi yang dilakukan terhadap Ukraina adalah Singapura.

Singapura melarang bank dan lembaga keuangan lainnya milik Rusia untuk berbisnis di Singapura.

Namun langkah Singapura itu tak serta merta biusa diikuti Indonesia. Sebab ada dampak yang bisa merugikan RI bila sanksi dijatuhkan. 

Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif CORE Indonesia Muhammad Faisal kepada Kompas.com, Senin (7/3/2022). 

Baca juga: JPMorgan: Ekonomi Rusia Bisa Susut 35 Persen akibat Deretan Sanksi

Dampak buruk

Menurut dia, bila Indonesia terlalu dalam mencampuri urusan Rusia dan Ukraina, seperti ikut memberi sanksi kepada Rusia, maka akan berdampak buruk pada Indonesia.

“Mememungkinkan atau tidak, ya memungkinkan saja menerapkan sanksi. Tapi masalahnya untungnya apa buat kita. Itu kan kita harus berpikir untung ruginya,” kata Faisal kepada Kompas.com, Senin (7/3/2022). 

Faisal menilai, di tengah pemulihan ekonomi nasional saat ini, fokus Indonesia adalah untuk kembali ke kondisi sebelum pandemi. Namun, untuk memberikan sanksi ke Rusia, Faisal menilai Indonesia belum memiliki kemampuan, dari segi fiskal.

Baca juga: Mengenal SWIFT, Senjata Non-Nuklir yang Bisa ‘Hancurkan’ Ekonomi Rusia

 

“Karena, ruginya itu kalau sampai terjadi balas membalas, embargo mengembargo satu sama lain ini dampaknya bagi ekonomi akan buruk, juga bagi dunia. Saat pandemi, kita juga dari ekonomi tidak punya cukup anggaran fiskal yang kuat, dan belum juga pulih ekonominya dari pandemi,” jelas Faisal.

“Kalau menurut saya, jangan ikut-ikutan. Bahkan kalau bisa kita berusaha untuk menenangkan pihak yang bertikai itu. Kalau kita mendukung salah satu pihak, ini bisa merugikan diri kita sendiri. Politik luar negeri kita kan bebas aktif, jadi kita harus konsisten,” kata dia. 

Faisal juga mengatakan, perang berkepanjangan bisa mendorong krisis global yang bisa menyeret ekonomi Indonesia. Misal dari perdagangan, inflasi yang mengalami peningkatan, dan PDB yang melambat, bahkan minus.

Baca juga: Uni Eropa Siapkan Sanksi untuk Lemahkan Perekonomian Rusia, Aset Dibekukan hingga Akses Bank Dihentikan

 

 

Dampak positif

Sementara itu, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira justru menilai Indonesia akan mendapat dampak positif jika memberikan sanksi ke Rusia.

Jika hal itu dilakukan, maka negara lain akan menganggap Indonesia layak menjadi destinasi investasi yang mengedepankan stabilitas ekonomi dunia.

“Sanksi ini bukan lantas Indonesia berada pada blok Barat ya. Ini bukan sekedar ikut-ikutan, tapi bisa dibaca justru sebagai peluang menampung dana-dana investasi asal Eropa dan AS,” kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Senin.

Menurut Bhima, pemerintah Indonesia harus bersikap tegas terhadap konflik di Ukraina dengan melakukan sanksi terhadap kepentingan ekonomi Rusia di Indonesia.

Misalnya dengan pemblokiran aset pelaku usaha Rusia, hingga pelarangan beberapa komoditas impor dari Rusia seperti besi baja, gandum, pupuk hingga kertas dan plastik.

“Ini karena, imbas konflik Ukraina yang berkepanjangan sangat merugikan ekonomi Indonesia yang tengah berada dalam proses pemulihan paska naiknya kasus Omicron. Harus ada pesan bahwa Rusia perlu segera hentikan agresi di Ukraina dan fokus pada kepentingan kolaborasi untuk pemulihan ekonomi global,” ujar Bhima.

Bhima juga menjelaskan, saat ini ada banyak investor hengkang dari Rusia dan mencari negara alternatif sebagai basis produksi khususnya disektor manufaktur. Hal itu dinilai akan menjadi angin segar bagi iklim investasi di RI.

“Kalau Indonesia dalam situasi konflik Rusia pasif, apalagi saat ini menjadi Presidensi G20 maka Indonesia akan kehilangan momentum mengejar relokasi investasi,” jelas Bhima.

Terkait perdagangan, Bhima menilai Indonesia juga harus mendorong substitusi produk impor asal Rusia. Misalnya besi baja yang bisa diambil alih oleh Krakatau Steel untuk mengisi gap kebutuhan didalam negeri.

“Soal pupuk, BUMN juga harusnya siap ya take over impor dari Rusia. Selain momentum menampung dana investasi global, peran untuk substitusi impor juga terbuka lebar,” kata dia. 

(Penulis Kiki Safitri | Editor Yoga Sukmana)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com