Oleh: Frangky Selamat
JIKA ditelusuri, sekolah bisnis atau fakultas ekonomi dan bisnis atau apapun namanya memiliki peserta didik paling banyak di Indonesia.
Mungkin alasan positif yang bisa dikemukakan adalah minat kalangan muda untuk menjadi pebisnis amat besar atau niat berkecimpung di dalam dunia bisnis begitu kuat karena dibutuhkan sehingga mudah terserap dunia usaha.
Ada alasan kurang bagus yang lain seperti dianggap mudah lulus, tidak berat mengikuti proses pembelajaran dan mengganggap remeh materi yang disampaikan.
Karena memandang remeh, maka bermunculan pandangan berbisnis yang dianggap benar secara praktik, tetapi justru menyesatkan kalangan muda.
Banyak pandangan berbisnis yang digali dari praktik sehari-hari yang dianggap benar karena memperlihatkan contoh sukses, walau bersifat jangka pendek dan keberlanjutannya pun dipertanyakan.
Sebagian kalangan muda yang suka silau dengan contoh-contoh instan yang dipandang berhasil kerap terjebak dalam pemikiran keliru.
Sebanyak lima hal dibahas berikut ini, yang mudah-mudahan saja bisa menyadarkan bagi mereka yang selama ini begitu meyakini, mendalami, bahkan menjalankannya dengan penuh keyakinan.
Pertama, modal berbisnis yang utama dan pertama adalah finansial.
Jika kalangan muda ditanya apa yang akan mereka kerjakan untuk memulai bisnis? Jawabannya hampir seragam: menyiapkan modal finansial. Seolah hanya dengan modal keuangan saja, bisnis sudah bisa dibangun dan dijalankan.
Allen (2012) menyatakan bahwa terdapat tiga sumber daya bisnis rintisan, yaitu: pertama, manusia (tim), kedua berupa aset fisik seperti peralatan, persediaan, kantor atau pabrik, dan ketiga baru sumber daya finansial.
Hal ini sudah cukup jelas menandakan bahwa modal utama yang pertama adalah tim pendiri (founding team), modal finansial nomor tiga.
Maka hal yang perlu dipersiapkan untuk membangun bisnis adalah tim pendiri yang solid. Idealnya memiliki kompetensi berbeda, seperti pemasaran, keuangan, operasional, desain, dan legal.
Menghindari tim dengan kompetensi sama adalah saran yang patut diperhatikan.
Mungkin ada yang penasaran kenapa bukan modal finansial yang pertama. Mudah saja untuk menjelaskannya.
Jika pada hari ini seorang muda diberikan modal uang senilai Rp 500 juta, apakah bisa menjamin langsung membuka dan menjalankan usaha? Belum tentu juga.
Yang ada malah bingung, uang sebesar itu mau diapakan. Atau malah disimpan di “celengan ayam-ayaman”.
Kedua, fokus pada kemampuan diri yang dianggap unggul, bukan pada pasar yang dilayani.
Seorang kawan yang sedang merintis usaha indekos dengan bangga memperlihatkan konsep bisnis kos yang diyakini belum ada sebelumnya.