Pada waktu itu, Direktur Utama Garuda adalah Wiweko Soepono yang pernah memimpin dan membesarkan Indonesian Airways.
Di bawah kepemimpinan Wiweko, Garuda banyak membeli pesawat jet, menggantikan pesawat baling-baling.
Dikutip dari buku biografi Wiweko Soepono “Dari Blitar Ke Kelas Dunia”, hingga di akhir kepemimpinannya tahun 1984, Garuda tercatat mempunyai 79 pesawat yang semuanya jet.
Terdiri dari 4 jumbo jet Boeing B747-200, 6 Douglas DC-10, 9 Airbus A300-B4FFCC, 24 DC-9, dan 36 Fokker F-28.
Pesawat sebanyak itu menjadikan armada Garuda terbesar nomor dua di belahan bumi bagian selatan, hanya kalah dari maskapai Jepang, JAL.
Wiweko bisa mengembangkan armada sebesar itu, antara lain karena dukungan penuh dari Presiden Suharto.
Saat akan diangkat menjadi Dirut, Wiweko memberi dua syarat. Pertama diberi keleluasaan membangun Garuda tanpa campur tangan pihak manapun. Kedua, laporannya langsung kepada presiden.
Wiweko kemudian mendapat keleluasaan untuk mengembangkan rute-rute domestik dengan melarang maskapai lain memakai pesawat jet.
Garuda juga mendapatkan hak eksklusif penerbangan internasional ke Bali dengan alasan untuk meningkatkan pariwisata Bali yang saat itu mulai berkembang.
Dengan kecerdikan dan pengamatan yang jeli akan pasar, Wiweko membuka penerbangan langsung internasional seperti Jakarta – Tokyo PP dan Jakarta-Hongkong PP. Maskapai lain biasanya transit dulu di Singapura atau Kuala Lumpur.
Dengan kondisi itu, tak heran jika Garuda bisa mengembangkan jumlah armada begitu banyak.
Dan di akhir kepemimpinannya, Wiweko meninggalkan “warisan” berupa cash surplus sebesar 108.000.000 dollar AS.
Memang kondisi Garuda saat itu tidak selalu mulus. Banyak cibiran dan tudingan miring saat pesawat-pesawat Garuda, terutama yang jumbo jet B747-200 dan wide body A300 dan DC-10 banyak terparkir “nganggur” di sudut apron Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta dan Ngurah Rai Bali.
Secara sinis, tempat itu dinamakan “Pojok Malvinas”. Garuda dianggap over investment!
Memang pada kenyataannya, tingkat penggunaan pesawat-pesawat itu menurun yang salah satunya disebabkan oleh resesi ekonomi global pada tahun-tahun itu.
Pesawat B747 pada tahun 1982 rata-rata digunakan 10,21 jam per hari, tahun 1983 turun menjadi 9,10 jam per hari.
DC-10 dari 7,41 jam per hari turun menjadi 4,58 jam. Sedangkan A300 dari 6,45 jam menjadi 4,49 jam per hari. Kondisi ini terus berlangsung hingga setelah Wiweko lengser.
Garuda kembali menjadi sorotan ketika mendatangkan pesawat Bombardier CRJ-1000 tahun 2012 dan Boeing B777-300 ER tahun 2013.
Terkait pengadaan CRJ-1000 yang mempunyai bentuk dan spesifikasi unik dan mewah, juga ada cerita tersendiri.
Dimulai tahun 2011 ketika pemerintah kala itu menggagas Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
Di dalam master plan itu ada rencana untuk mengembangkan perekonomian daerah-daerah di luar Jawa atau Jakarta.
Salah satu gagasannya adalah mengembangkan konektivitas transportasi dengan pesawat udara.
Karena bandara-bandara di daerah mayoritas mempunyai keterbatasan teknis, misalnya runway yang pendek, dan pasar atau jumlah penumpang yang sedikit, maka jenis pesawatnya juga harus disesuaikan.
Garuda sebagai maskapai BUMN mendapat tugas tersebut. Ada beberapa pilihan pesawat waktu itu di pasar, baik yang jet seperti Embraer 190, Sukhoi Super Jet 100, maupun baling-baling (turboprop) seperti ATR 72 dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Namun akhirnya Garuda memilih CRJ buatan Kanada tersebut. Pada saat penerbangan perdana Jakarta-Makassar di mana penulis juga turut serta, Menteri Perhubungan EE Mangindaan menyatakan pesawat itu untuk mendukung MP3EI koridor Makassar dan akan dipakai untuk menghubungkan Makassar ke Ternate, Mataram, Surabaya, Denpasar dan sebagainya.
Pesawat sejenis juga akan dipakai untuk melayani MP3EI koridor Medan, Balikpapan dan Surabaya.