Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gatot Rahardjo
Pengamat Penerbangan

Pengamat penerbangan dan Analis independen bisnis penerbangan nasional

Cerita Tentang Pesawat Garuda Indonesia

Kompas.com - 12/03/2022, 13:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sayangnya pemakaian CRJ ini tidak maksimal karena pada tahun 2013, Garuda justru mendatangkan ATR72-600.

Pesawat ini awalnya diperuntukkan anak perusahaan, yaitu Citilink. Namun pada kenyataannya justru diambil alih Garuda.

Dengan kedatangan ATR, CRJ seperti kehilangan fungsi karena rute-rutenya banyak diterbangi ATR.

Penerbangan antarhub atau antarpulau di luar Jakarta juga tidak mulus dilakukan. Hal ini salah satunya karena Bandara Soekarno-Hatta justru dikembangkan sehingga maskapai lebih tertarik untuk terbang melalui bandara ini karena pasarnya sudah dipastikan besar.

Sedangkan untuk wide body B777, kedatangannya juga penuh kontroversi. Pesawat ini awalnya akan digunakan untuk penerbangan langsung dari Indonesia ke Eropa terutama Amsterdam dan London.

Sebelumnya, rute ini dilayani menggunakan pesawat A330 dengan transit di Dubai.

Pada waktu itu sebenarnya Indonesia masih masuk dalam larangan terbang Uni Eropa karena Indonesia dianggap kurang keselamatan penerbangannya.

Mayoritas maskapai Indonesia tidak boleh terbang di atas langit Eropa kecuali beberapa saja. Yang sedikit itu di antaranya adalah Garuda.

Dengan dilaksanakannya penerbangan ke Eropa sesering mungkin, apalagi dengan pesawat baru, diharapkan dapat membuka mata Uni Eropa bahwa keselamatan penerbangan Indonesia sudah terjamin. Larangan terbang UE kemudian bisa dibuka seluruhnya pada tahun 2018.

Sayangnya, kedatangan B777 -300 ternyata tidak sesuai harapan. Pertama, pesawat ini ternyata tidak dapat dilayani secara maksimal oleh Bandara Soekarno-Hatta yang saat itu mempunyai kekuatan runway (pavement classification number/ PCN) 114 R/D/W/T.

Sedangkan B777 mempunyai aircraft classification number (ACN) 132. Akibatnya pesawat tidak bisa dioperasikan secara maximum take off weight (MTOW) dari bandara ini.

Baru pada tahun 2020 runway Bandara Soekarno-Hatta diperkeras sehingga bisa dipakai B777-300 MTOW.

Yang kedua, pasar penumpang dan kargo dari Indonesia langsung ke Eropa ternyata juga tidak besar. Akibatnya penerbangan langsung dengan pesawat ini selalu rugi.

Kisah-kisah di atas menggambarkan, betapa fenomena pengadaan pesawat di Garuda sangat beragam.

Sebagai maskapai BUMN dan flag carrier, banyak aspek yang melatarbelakanginya, mulai dari murni bisnis hingga politik.

Memang jika dilihat dari sisi bisnis, Garuda lebih banyak rugi. Namun ada sisi sebaliknya yang bisa dipandang lain.

Seperti misalnya kebanggaan sebagai maskapai terbesar di belahan bumi selatan waktu itu, menjaga konektivitas daerah hingga misi diplomasi terselubung.

Saat ini pengadaan pesawat Garuda banyak disorot karena dianggap over investment seperti di era Wiweko dulu, dan sarana korupsi beberapa oknum karyawan.

Jika memang dalam pengadaan pesawat itu ada terindikasi korupsi, penulis setuju kalau itu diusut tuntas siapa saja oknum-oknumnya, dari atas sampai bawah sehingga tidak terjadi korupsi lagi di kemudian hari.

Namun jika dianggap over investment, tidak cermat pengadaannya, tidak ada perencanaan yang baik dan lain-lain, tentu ini perlu dilihat secara menyeluruh dan diperbaiki, namun bukan dipidana.

Mengingat pengadaan suatu pesawat di Garuda tidak bisa hanya dipandang dari sisi bisnis saja.

Perbaikan ini, misalnya, dengan membuat bisnis plan secara jangka panjang dan jangan sering diubah hanya karena ada perubahan manajemen.

Selain itu keterlibatan pemerintah juga perlu ditinjau ulang sehingga Garuda bisa menjalankan bisnis plan-nya dengan baik.

Jangan sampai justru Garuda tidak bisa berkembang karena karyawannya tidak berani melakukan inovasi disebabkan bayang-bayang pidana.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com