PESAWAT termasuk kru pesawat terutama pilot dan copilot, adalah modal utama bagi maskapai penerbangan.
Tanpa adanya pesawat, maskapai tidak akan bisa beroperasi. Makanya pengadaan pesawat menjadi penting bagi maskapai.
Pesawat bisa diadakan dengan beli atau sewa. Di Indonesia saat ini, pengadaan pesawat tergantung aturan dari pemerintah. Terutama jumlah minimal pesawat yang harus dibeli dan disewa.
Pengadaan pesawat memang harus cermat, disesuaikan dengan rencana bisnis (business plan).
Apalagi setiap pesawat mempunyai spesifikasi teknis khusus, sesuai perkembangan teknologi saat itu, sehingga tidak bisa sembarangan dibeli. Pembelian pesawat juga dipengaruhi hal-hal non teknis seperti sisi politis.
Tapi tetap saja faktor teknis tidak bisa diabaikan, misalnya berapa panjang landasan dan kekuatan landasan yang bisa melayani pesawat itu. Kemudian berapa banyak muatannya, sampai berapa jauh pesawat bisa terbang dan sebagainya.
Jika ada beberapa pabrik yang menyediakan pesawat sejenis, tentu akan lebih mudah memilih. Tapi sayangnya, tidak banyak pabrik pesawat di dunia ini.
Dan jenis-jenis produksinya juga kadangkala tidak sama. Sehingga maskapai seperti tidak punya pilihan lain.
Karena pengaruh banyak faktor itu, antara rencana bisnis dan pengadaan pesawat mempunyai keterkaitan yang unik.
Lazimnya, perusahaan membuat rencana bisnis sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, baru kemudian mencari pesawat yang sesuai.
Namun ada kalanya perusahaan sudah menguasai pesawat lebih dahulu dan kemudian baru membuat rencana bisnis yang disesuaikan.
Maskapai Garuda Indonesia juga mengalami hal yang sama. Apalagi sebagai maskapai yang usianya sudah mencapai 73 tahun, banyak cerita terkait pesawat-pesawat Garuda mulai dari awal didirikan hingga sekarang.
Dikutip dari edisi koleksi Majalah Angkasa yang berjudul “Sejarah Penerbangan Indonesia”, pesawat-pesawat Garuda pada awalnya adalah pesawat dari anak perusahaan maskapai Belanda, KLM, yang beroperasi di Indonesia, yaitu Inter-Insulair Bedrijf (IIB).
Pesawat-pesawat IIB diserahkan ke Indonesia sebagai konsekuensi dari hasil Konferensi Meja Bundar akhir tahun 1949 di mana Belanda mengakui negara Indonesia dan menyerahkan aset-asetnya yang ada di Indonesia, termasuk aset penerbangan.
Dalam akte pendirian Perseroan Terbatas “Garuda Indonesian Airways N.V” No.137 tanggal 31 Maret 1950, disebutkan bahwa pesawat yang dimiliki Garuda sebanyak 26 unit dengan rincian 11 pesawat Dakota untuk angkutan penumpang, 12 pesawat Dakota untuk angkutan barang dan 3 pesawat Catalina Amphibie.
Sebagai direktur utama yang pertama ditunjuk TH. J. De Bruijn, seorang Belanda karena waktu itu dianggap belum ada orang Indonesia yang mampu mengelola maskapai penerbangan.
Indonesia saat itu memang sangat minim pengalaman di bidang penerbangan sipil, walaupun sebenarnya sudah punya “maskapai” yang bernama Indonesian Airways sejak Februari 1948.
Maskapai itu dijalankan oleh para anggota TNI AU pimpinan Wiweko Soepono di Burma dan pesawatnya memakai registrasi RI- atau pesawat militer. Sedangkan pesawat-pesawat Garuda menggunakan registrasi PK- (sipil).
Hingga dibubarkan tahun 1950, Indonesia Airways mempunyai tiga pesawat Dakota, yaitu dua pesawat milik dan satu pesawat sewa.
Kembali ke Garuda, dengan pesawat-pesawat yang dimiliki itu, pada awalnya melayani rute-rute yang sudah dilayani oleh IIB sebelumnya.
Namun ternyata adanya penerbangan sipil ini disambut baik oleh masyarakat Indonesia sehingga bulan September 1950 Garuda menambah pesawat lagi. Dan ini tercatat sebagai penambahan armada pertama bagi Garuda.
Direktur Utama Garuda waktu itu adalah Doktor Emile van Konijnenburg, masih orang Belanda, yang menggantikan De Bruijn.
Konijnenburg mengumumkan saat itu pesawat Garuda sudah bertambah menjadi 23 pesawat Dakota, 8 pesawat Catalina dan 8 pesawat Convairliner. Semuanya jenis pesawat baling-baling.
Jadi jika di awal pendiriaan kepemilikan pesawat adalah karena peristiwa politik, pengembangan armada pesawat pertama sudah melalui pertimbangan bisnis.
Setelah itu, Garuda kembali membeli dan sekaligus juga mempensiunkan pesawat, suatu hal biasa pada sebuah maskapai penerbangan.
Namun yang perlu dicatat lagi adalah pengembangan armada Garuda awal tahun 1980-an.