INVASI Rusia atas Ukraina sempat mendongkrak harga minyak hingga nyaris menyentuh level 140 dollar AS per barrel, menjadi rekor tertinggi dalam 14 tahun, pada pekan lalu. Kekhawatiran rantai pasokan minyak global terganggu oleh situasi perang tersebut menjadi sentimennya.
Pekan ini, harapan pasar bahwa Rusia mengeluarkan sinyal positif perdamaian lewat negosiasi, meredam lonjakan harga minyak meski masih bertengger di atas 100 dollar AS per barrel.
"Moskwa mengklaim kemajuan substansial dalam pembicaraan damai sambil meningkatkan konflik ... tapi itu sudah cukup bagi para trader untuk menjadikannya berita utama yang bagus," kata analis Markets.com Neil Wilson, seperti dikutip AFP pada Selasa (15/3/2022).
Baca juga: Beragam Reaksi Negara-negara Asia terhadap Konflik Rusia-Ukraina
Terlebih lagi, produsen minyak Timur Tengah menyatakan siap menambah produksi untuk menambal efek pelarangan impor minyak dari Rusia oleh Amerika Serikat dan Inggris.
Yang lalu tak disangka, China mencatatkan lonjakan kasus baru Covid-19. Setidaknya hingga Selasa (15/3/2022), 11 kota di China sudah ditutup.
Lebih dari 5.000 kasus baru Covid-19 dalam sehari dilaporkan terjadi di China hingga Senin (14/3/2022), terburuk setelah fase awal pandemi global Covid-19 pada 2019-2020. Ini menjadikannya enam hari berturut-turut dengan lebih dari 1.000 kasus baru Covid-19 dalam sehari dilaporkan.
Baca juga: Perundingan Rusia-Ukraina dan Lockdown China Bikin Harga Minyak Dunia Anjlok
Efeknya, harga minyak di pasar West Texas Intermediate (WTI) lansung anjlok hingga ke bawah 100 dollar AS per barrel untuk pengiriman April 2022. Sentimen yang membayangi adalah penurunan permintaan setelah pemberlakuan lockdown tersebab lonjakan kasus Covid-19 di China, pengguna energi terbesar dunia.
Tak hanya di pasar future energi, situasi China pun sontak memerahkan bursa utama global, terutama yang berkaitan dengan teknologi. Nasdaq, misalnya, anjlok sekitar 2 persen, baik di harga saham gabungan (composite index) maupun Nasdaq-100.
Bursa Hong Kong rontok pada pembukaan perdagangan Selasa (15/3/2022) tersebab situasi di China. Ini terutama setelah Pemerintah China mengumumkan pemberlakuan lockdown untuk Shenzhen, kota utama pemasok teknologi dunia dengan 17 juta penghuni.
Baca juga: Shenzhen, dari Desa Nelayan Jadi Pusat Industri di China
Dua sentimen yang mengayun harga minyak dan bursa utama dunia ini masih ditambah lagi dengan antisipasi pasar bahwa bank sentral Amerika Serikat (The Fed) akan menaikkan suku bunga acuannya (Fed Rate).
Pasar masih menanti hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung mulai Selasa (15/3/2022) hingga Rabu (16/3/2022) waktu setempat. Pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan Fed Rate sebesar 25 basis poin lewat pertemuan ini.
Situasi domestik dan perang Rusia-Ukraina diyakini bakal mematok inflasi tinggi di Amerika Serikat, yang dikhawatirkan memicu kebijakan The Fed. Kondisi ini juga yang diperkirakan bakal menahan harga minyak di harga sekitar 100 dollar AS per barrel sekalipun ada perkembangan situasi dari China.
Baca juga di Kontan: The Fed Diprediksi Akan Kerek Suku Bunga 4 Kali pada 2022
"Penyebaran Covid yang cepat di seluruh China sekarang meresahkan investor, dengan ekspektasi bahwa lockdown akan sekali lagi merusak perekonomian," kata analis Hargreaves Lansdown Susannah Streeter, seperti dikutip AFP pada Selasa (15/3/2022).
Menurut Streeter, permintaan minyak global akan terpukul bila output ekonomi China menyusut.
AFP melaporkan, puluhan penerbangan domestik China dibatalkan pada Selasa pagi, mengutip data pelacakan penerbangan. Tiga pabrik Volkswagen di Kota Jilin, Changchun, tutup setidaknya hingga tiga hari ke depan.