Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Ketua Badan Anggaran DPR-RI. Politisi Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan.

Pemerintah Harus Bekerja untuk Kemandirian Pangan

Kompas.com - 17/03/2022, 10:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PANDEMI dan perang memberi pelajaran penting bagi kita untuk serius membangun kemandirian pangan. Pangan sebagai komoditas strategis adalah kebutuhan dasar setiap orang. Tanpa pangan, manusia akan mati.

Bila ada pangan tetapi kurang terpenuhi komposisi gizinya, manusia akan mengidap kekurangan gizi, kelompok rentan seperti balita akan mengalami stunting. Sebaliknya, terpenuhi kebutuhan pangannya, tetapi tidak sehat dan kurang seimbang gizinya menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, kategori penyakit kelas berat seperti diabetes, kanker, stroke, darah tinggi, jantung.

Baca juga: Resmikan Bendungan Pidekso Wonogiri, Jokowi : Waduk Jadi Kunci Ketahanan dan Kemandirian Pangan

Pangan begitu sentral bagi kelangsungan, kemajuan, dan ketahanan sebuah bangsa. Bila menyadari bahwa pangan adalah pokok perkara yang begitu sentral, harusnya kita serius memikirkan persoalan pangan.

Sebagai bangsa yang dikaruniai tanah yang subur, kaya akan ragam pangan, negeri kita telah lama menjadi perburuan banyak pihak. Alfonso de Albuquerque pemimpin pasukan Portugis tahun 1509 mengadu nasib, mengarungi samudera, menuju ke Maluku untuk merampas rempah-rempah kita.

Sébastian del Cano dari Spanyol tahun 1512, hingga Pieter Both, pemimpin pertama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie/gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timu) datang ke Nusantara tahun 1610, tak lain tak bukan ingin menguasai berbagai kekayaan alam, sumber pangan dan rempah rempah yang melimpah ruah, membentang dari Kesultanan Aceh hingga Ternate dan Tidore. Kolonialisme abad 16 hingga 19 adalah kolonialisme pangan.

Menyadari arti penting pangan, Bung Karno mendorong transformasi struktural pada sektor pangan, dari sistem kolonial ke sistem nasional. Land reform agenda utamanya. Kenapa land reform dipandang penting oleh Bung Karno dalam politik pangannya?

Bung Karno ingin menata ulang kepemilikan tanah sebagai basis produksi, termasuk hubungan-hubungan sosial-ekonomi dampak kepemilikan tanah tersebut. Menasionalisasi aset-aset kolonial, membagi konsentrasi kepemilikan tanah yang dikuasai segelintir priyayi.

Dengan land reform, para buruh tani dan petani gurem kelas “marhaen” bukan hanya sebagai penyuplai kebutuhan subsisten, dan dalam relasi seperti itu tidak memberikan kemakmuran, apalagi menjadi pilar ketahanan pangan nasional.

Lahirlah Undang-Undang No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA) sebagai manifestasi awal politik pangan Bung Karno. Sayangnya, belum cukup mensistematisir kebijakan penopang lainnya, Bung Karno keburu dikudeta dari tampuk kepemimpinannya. Orde Baru sebagai penerus pemerintahan berikutnya memiliki niat yang kuat untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Dari Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) I tahun 1969 sampai Repelita VI tahun 1994 yang dijalankan Orde Baru selalu ada agenda pangan. Kebijakan Orde Baru meletakkan politik pangan dalam penguasaan negara dan swasta yang monopolistik. Pangan rakyat menjadi arena perburuan rente, dan konsentrasi modal ke segelintir kelompok usaha.

Baca juga: Kemandirian Pangan dan Energi Baru Terbarukan Jadi Perubahan Penting Dalam Perekonomian

 

Kita menyaksikan kebijakan beras dipaksakan sebagai makanan pokok seluruh rakyat. Padahal tidak semua wilayah Indonesia makanan pokoknya beras. Sebagian besar wilayah di Indonesia Timur justru terbiasa dengan sagu dan umbi.

Kebijakan revolusi hijau cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Namun dalam perkembangannya menggerus keragaman pangan rakyat, dan menjebak rakyat pada ketergantungan bahan pangan tertentu saja, seperti beras hingga kini.

Inilah pangan lokal di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diolah untuk menurunkan gizi burukKompas.com/Sigiranus Marutho Bere Inilah pangan lokal di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diolah untuk menurunkan gizi buruk
Menata warisan

Ada banyak hal yang harus kita benahi secara fundamental untuk meningkatkan ketahanan pangan kita. Lahan pertanian di Jawa mengalami alih fungsi besar-besaran, persawahan yang tersisa justru kritis akibat eksploitasi kimiawi bertahun-tahun, infrastruktur pertanian, khususnya pengairan dan jalan mengalami kerusakan, dan penurunan daya dukung.

Sumber daya dan teknologi pangan tidak mampu mengadaptasikan perubahan. Urusan pangan kita terjebak dalam birokratisme ketimbang gerakan sosial.

Di luar Jawa, terjadi ekspansi lahan perkebunan monokultur yang mengancam keanekaragaman pangan hayati rakyat. Produk pangan kita juga tidak beragam, sehingga sebagiannya menggantungkan pada suplai impor.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com