Kita menyaksikan kebijakan beras dipaksakan sebagai makanan pokok seluruh rakyat. Padahal tidak semua wilayah Indonesia makanan pokoknya beras. Sebagian besar wilayah di Indonesia Timur justru terbiasa dengan sagu dan umbi.
Kebijakan revolusi hijau cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Namun dalam perkembangannya menggerus keragaman pangan rakyat, dan menjebak rakyat pada ketergantungan bahan pangan tertentu saja, seperti beras hingga kini.
Ada banyak hal yang harus kita benahi secara fundamental untuk meningkatkan ketahanan pangan kita. Lahan pertanian di Jawa mengalami alih fungsi besar-besaran, persawahan yang tersisa justru kritis akibat eksploitasi kimiawi bertahun-tahun, infrastruktur pertanian, khususnya pengairan dan jalan mengalami kerusakan, dan penurunan daya dukung.
Sumber daya dan teknologi pangan tidak mampu mengadaptasikan perubahan. Urusan pangan kita terjebak dalam birokratisme ketimbang gerakan sosial.
Di luar Jawa, terjadi ekspansi lahan perkebunan monokultur yang mengancam keanekaragaman pangan hayati rakyat. Produk pangan kita juga tidak beragam, sehingga sebagiannya menggantungkan pada suplai impor.
Di ranah hilir, tata niaga pangan rentan menjadi permainan kartel dan perburuan rente. Belum lagi ancaman perubahan iklim yang nyata telah terjadi, sehingga tempo perubahan musim sulit diprediksikan, termasuk bencana hidrologi yang makin intensif.
Undang-Undang No 18 tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan untuk memenuhi ketersediaan pangan perlu memperbaiki sektor hulu dan hilir. Amanat itu antara lain, upaya produksi pangan harus bertumpu pada sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal.
Oleh sebab itu, seluruh pranata pedesaan haruslah menjadi subyek penting dalam politik pangan kita. Melalui pranata pedesaan inilah pemerintah mendorong sistem efisiensi usaha, mengembangkan sarana, prasarana dan teknologinya, dan penanganan paska panen. Undang-undang pangan juga mewajibkan mempertahankan lahan produktif, disertai pengembangan lahan baru, serta membangun kawasan sentra pangan yang beragam.
Memperbaiki sektor pangan adalah salah satu agenda utama Presiden Joko Widodo (Jokowi). Namun rintangannya tidak mudah disingkirkan. Presiden Joko Widodo menjanjikan sembilan juta hektar lahan menjadi obyek reforma agraria.
Presiden telah menerbitkan Perpres No 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Dua pokok pekerjaan dari Perpres Reforma Agraria itu adalah legalisasi dan redistribusi lahan kepada rakyat. Presiden Jokowi menargetkan sembilan juta lahan menjadi obyek reforma agraria, dengan rincian 4,5 juta lahan mendapatkan legalisasi, dan 4,5 juta lahan terbagikan ke rakyat untuk peningkatan produksi pangan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.