Oleh: Reza Lukiawan
ACAP KALI kita dengar istilah ekonomi biaya tinggi atau high cost economy yang mengganggu efisiensi produksi suatu perusahaan.
Bila ditarik secara agregat, munculnya ekonomi biaya tinggi berdampak pula pada tingkat daya saing produk dan perekonomian secara nasional.
Dalam teori dan konsep ekonomi, perilaku produsen/perusahan, yaitu untuk memaksimalkan keuntungan/laba di mana total revenue setelah dikurangi total cost menunjukkan angka yang positif.
Dalam berproduksi suatu produsen akan tetap menjalankan operasi produksinya apabila harga produk lebih besar dari biaya rata-rata.
Permasalahannya adalah jika harga produk yang dijual tidak bisa bersaing dengan harga produk pesaing, maka perusahaan lama kelamaan akan kalah dalam persaingan pasar.
Faktor harga dan mutu merupakan hal penting dalam mengukur daya saing suatu produk nasional apabila dibandingkan dengan produk impor.
Sebagai contoh, apel Washington dibanding dengan apel Malang, jeruk Mandarin yang mengambil pasar jeruk lokal, hingga mainan anak dari China yang mendominasi pasar.
Bila dibandingkan, bukankah produk-produk impor itu memiliki mutu yang lebih bagus dengan harga yang lebih murah daripada produk lokal?
Sebagai konsumen tidak dapat pula disalahkan apabila faktor harga dan mutu menjadi preferensi dalam membeli meskipun cinta produk dalam negeri adalah pilihan yang paling bijak.
Oleh karena itu, sebagai upaya untuk bersaing atau setidaknya mampu bertahan dalam persaingan pasar tak bisa lepas dari dua aspek, yaitu penentuan harga dan aspek mutu itu sendiri.
Ada beberapa penyebab suatu produsen menetapkan harga produk yang lebih tinggi yang berujung pada high cost economy.
Di antaranya, faktor upah tenaga kerja yang mahal, infrastruktur yang kurang mendukung aktivitas ekonomi, banyak biaya-biaya tak terduga yang membebani seperti sulitnya izin jika tanpa uang pelicin, marak terjadi pungutan liar, hingga uang-uang siluman yang harus disiapkan selama proses distribusi karena melewati banyak pos pungutan ilegal.
Ironisnya jika beban biaya tersebut disebabkan oleh oknum yang seharusnya memperlancar bukan mempersulit alias birokrasi yang rumit.
Masalah birokrasi tak lepas dari pengamatan Presiden Joko Widodo. Bahkan presiden dengan tegas memerintahkan para pembantunya untuk mengatasi agar ekonomi dapat berjalan dengan baik.