Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena Sulitnya Mencari BBM Solar dan Langkah Pertamina

Kompas.com - Diperbarui 28/03/2022, 06:03 WIB
Muhammad Idris

Penulis

KOMPAS.com - Belum juga mereda polemik kelangkaan dan harga minyak goreng yang melambung tinggi, kini muncul masalah baru yang menyangkut hajat hidup orang banyak di Indonesia, yakni terkait susahnya mendapatkan solar.

Di berbagai daerah, bahan bakar minyak (BBM) jenis solar kini mulai susah ditemukan. Antrean panjang berjam-jam di SPBU untuk mendapatkan solar kini jadi pemandangan yang lazim. 

Sulitnya mencari solar sendiri sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa pekan.  Untuk mendapatkan solar, para supir bahkan harus berkeliling kota, mencari SPBU yang masih memiliki stok. Para sopir terpaksa antre.

Baca juga: Setelah Minyak Goreng, Kini Warga Harus Antre Berjam-jam demi Solar

Dikutip dari Kompas TV, antrean panjang truk terjadi di SPBU Kebun Sayur Balikpapan, Kalimantan Timur, Senin pagi (28/03/2022). Demi membeli solar, para sopir truk mengaku sudah mengantre lebih dari 24 jam.

Para sopir truk mengaku sudah mengantre untuk membeli solar sejak Minggu pagi. Sopir truk mengaku selama ini tak pernah mengantre solar selama ini.

Para sopir truk berharap, stok solar di tempat pengisian bahan bakar bisa ditambah untuk mengatasi kelangkaan yang terjadi saat ini. Selain truk, sejumlah kendaraan roda empat lainnya juga ikut mengantre.

Antre solar

Sementara itu, diberikan Harian Kompas, 24 Maret 2022, sopir truk angkutan barang mengeluhkan sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak jenis biosolar di Lampung. Mereka harus antre berjam-jam di stasiun pengisian bahan bakar minyak sehingga menghambat operasional truk angkutan barang.

Antrean truk terlihat di sejumlah SPBU di Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Antrean didominasi truk angkutan barang. Kendaraan jenis lain, seperti bus, mobil bak terbuka, dan minibus, juga terlihat antre sejak pagi. Kondisi itu terjadi hampir setiap hari sejak dua pekan terakhir.

Baca juga: Sederet Penyebab Kelangkaan Solar Menurut Dirut Pertamina

Riyanto (39), sopir truk angkutan barang, mengaku antre sejak pukul 09.00 untuk mendapatkan solar di SPBU Tanjung Sari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Ia tetap antre meskipun belum mendapat kepastian kapan pasokan biosolar akan tiba di SPBU tersebut.

”Saya sudah dua hari mencari solar di beberapa SPBU, tapi belum dapat . Jadi mending nunggu di sini karena masih ada harapan pasokan solar akan dikirim,” kata Riyanto.

Dia sudah mencari solar di SPBU yang ada di sepanjang Jalan Lintas Sumatera di Kecamatan Natar. Namun, Riyanto kehabisan stok meskipun sudah antre berjam-jam.

Akibat sulitnya mencari solar, pekerjaaannya mengantarkan minuman kemasan dari Lampung ke Bengkulu menjadi terhambat. Ia menyebut, kondisi itu tidak hanya terjadi di Lampung, tapi juga di Bengkulu sejak satu bulan terakhir.

Pada 2022, BPH Migas telah menugaskan PT Pertamina Patra Niaga dan PT AKR Corporindo untuk menyalurkan 15,1 juta kiloliter minyak solar. Penetapan kuota itu telah mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan keuangan negara.

Baca juga: Ibu Antre Minyak Goreng, Bapak Antre Solar, Partai Antre Jabatan

Apabila terjadi peningkatan kebutuhan atau gangguan distribusi di suatu daerah, maka Pertamina Patra Niaga dan AKR Corporindo dapat melakukan penyesuaian kuota antar penyalur di daerah yang sama sepanjang tidak mempengaruhi jumlah total kuota daerah tersebut.

Dalam perubahan kuota suatu daerah, Pertamina wajib melaporkan kepada BPH Migas paling lambat satu bulan setelah perubahan agar penyaluran tepat sasaran, sehingga kuota Jenis BBM Tertentu bisa dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak menerimanya.

Langkah Pertamina

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati pun menilai ada sejumlah faktor yang mempengaruhi pasokan solar sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan. Salah satunya, soal kuota solar subsidi tahun ini yang lebih rendah dari tahun lalu.

Ia menjelaskan, melihat perekonomian yang mulai pulih di tahun ini, maka konsumsi solar subsidi bisa saja mencapai 16 juta kiloliter (KL), melebihi kuota yang ditetapkan yaitu sebesar 14,09 juta KL. Per Februari 2022 saja, penyaluran sudah melebihi kuota 10 persen yaitu mencapai 2,49 juta KL dari yang seharusnya 2,27 juta KL.

"Kami memahami bahwa sekarang industri tumbuh, maka kita tetap suplai, walaupun sekarang sudah over kuota, per bulan kan ada kuota. Tapi sudah over 10 persen sampai dengan Februari," ungkap Nicke dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (28/3/2022).

Baca juga: Solar Langka, Dirut Pertamina Duga Ada Penyelewangan Perusahaan Sawit dan Tambang

Sayangnya, tren peningkatan konsumsi itu tidak dibarengi dengan peningkatan dari sisi suplai sebab kuota solar subsidi tahun ini menurun 5 persen ketimbang kuota di 2021. Pada tahun ini kuota solar subsidi yang ditetapkan pemerintah berkisar 15,1 juta KL sedangkan tahun lalu kuotanya sekitar 15,8 juta KL.

"Gap ini lah yang menyebabkan terjadinya masalah di suplai," imbuh dia.

Oleh sebab itu, dengan potensi peningkatan konsumsi solar subsidi hingga akhir tahun naik 14 persen dari kuota yang ditetapkan di 2022, Nicke berharap bisa dilakukan penyesuaian kembali kuota solar subsidi.

"Kami memohon dukungan, jika memang solar subsidi ini adalah bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka kuotanya perlu disesuaikan dengan kebutuhan," ujarnya.

Selain soal kuota, kelangkaan solar juga diduga terjadi karena adanya penyelewengan penggunaan solar subsidi oleh industri besar, seperti perusahaan tambang dan sawit.

Terlebih, saat ini disparitas harga antara solar subsidi dan non-subsidi atau Dex Series semakin tinggi yaitu mencapai Rp 7.800 per liter, berdasarkan perhitungan Pertamina.

Nicke mengungkapkan, dugaan tersebut nampak dari meningkatkan penjualan solar hingga mencakup 93 persen, sementara penjualan solar non-subsidi atau Dex Series menurun menjadi hanya 7 persen.

"Ini yang harus kita lihat, apakah betul ini untuk industri logistik dan industri yang tidak termasuk industri besar? Antrean-antrean yang kita lihat ini, kelihatannya justru dari industri-industri besar seperti sawit, tambang. Ini yang harus ditertibkan," kata dia.

Baca juga: Harga Batas Atas Bensin RON 92 Capai Rp 14.526 per Liter, Pertamina Masih Jual Pertamax Rp 9.000 per Liter

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com