Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Firdaus Putra, HC
Komite Eksekutif ICCI

Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)

Sindrom “Semua Bikin Sendiri” di Koperasi

Kompas.com - 30/03/2022, 13:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SAAT seminar transformasi digital, saya dapati beberapa koperasi mengembangkan teknologi secara mandiri.

Beberapa mengembangkan secara serius, beberapa ala kadarnya. Intensitasnya berbanding lurus dengan sumber daya mereka.

Sebaliknya, seringkali saya dorong mereka untuk bermitra dengan tech provider yang sudah ada. Sebabnya sederhana, pengembangan teknologi bukan core competency koperasi.

Lalu pada banyak diskusi saya menangkap kesan soal kerja sama di koperasi rendah. Meski modus itu telah diafirmasi lewat Prinsip Koperasi Internasional ke enam, trennya jalan di tempat.

Banyak praktisi koperasi mengeluhkan hal itu. Bagaimana membangun kerja sama business to business jangka panjang antar koperasi tidak seenak kata “ko-operasi”, yang berarti “kerja sama”.

Di kasus lain, merger/amalgamasi jarang menjadi pilihan strategi. Banyak di antaranya memilih jalan sendiri meski mengalami stagnasi.

Ada ego kesejarahan yang begitu rupa ingin dipertahankan daripada menyongsong pertumbuhan di masa depan.

Jajak pendapat yang dilakukan Indonesian Consortium for Cooperative Innovation (Mei, 2021), menemukan hanya 1 dari 10 koperasi yang pernah melakukan merger/amalgamasi.

Gejala-gejala itu membuat saya penasaran. Jangan-jangan ini bukan soal teknikal-organisasional belaka, melainkan soal mental model.

Di mana saya lihat ada kecenderungan “semua ingin dibikin sendiri”. Pada kolom ini saya ingin membedah soal mental model itu.

Rumongso Biso

Bayangkan mental model berlapis-lapis seperti bawang merah. Saya akan mulai dari lapis luar, keyakinan diri soal rumongso biso atau merasa mampu.

Merasa mampu ini tidak sama dengan kemampuan aktual. Ini hanya pandangan terhadap penilaian diri sendiri (self assessment).

Banyak di antara kita menilai diri melebihi kemampuan aktualnya. Digambarkan dengan baik dalam kurva Dunning Kruger Effect.

Bagaimana seseorang begitu percaya diri tentang pengetahuannya, yang seolah paling pintar/ tahu, berbanding terbalik dengan kompetensi aktualnya.

Selalu ada bias dalam menilai diri sendiri, parahnya menilai secara over value.

Bagi beberapa koperasi yang mengembangkan teknologi sendiri, boleh jadi mengiranya sederhana.

Padahal banyak hal yang harus disiapkan tatkala membangun teknologi. Mulai dari penyiapan teknologi, talenta, penyiapan infrastruktur, keamanan, perlindungan data, kepatuhan terhadap regulasi, kemampuan interkoneksi antar layanan, kemampuan interoperabilitas teknologi tersebut dan seterusnya.

Dalam suatu forum saya pernah menemukan ada satu koperasi yang mengembangkan teknologinya secara mandiri, yang saya taksir sudah investasi lebih dari dua ratus juta rupiah.

Teknologi itu sudah diimplementasi di beberapa cabang. Ironisnya, sama sekali belum pernah dilakukan Pen-test, yakni suatu pengujian terhadap kemungkinan sistem dipenetrasi oleh pihak lain secara ilegal. Padahal itu sangat mendasar.

Belum lagi bagaimana contingency plan, misalkan ketika infrastruktur gagal (sebab kebakaran, bencana atau lainnya).

Seberapa cepat sistem pulih dan kembali beroperasi, tentu dengan daya dukung infrastruktur cadangan lainnya.

Sesungguhnya teknologi yang terlihat mudah (user friendly) itu, sangat kompleks di belakang layarnya.

Belum juga terkait dengan keamanan sistem manajemen informasi, perlindungan data dan lainnya, yang membutuhkan ISO 27001 serta sertifikasi lainnya. Singkatnya, butuh investasi yang besar untuk itu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com