Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herry Darwanto
Pemerhati Sosial

Pemerhati masalah sosial. Bekerja sebagai pegawai negeri sipil sejak 1986 hingga 2016.

Wirausaha Sosial

Kompas.com - 01/04/2022, 09:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

WARGA Kampung Dukuh, Kelurahan Gedongkiwo, Kecamatan Mantrijeron, di pinggir Kota Yogyakarta itu kini tidak lagi mengeluh soal saluran irigasi yang melintas di kampung mereka.

Sebelumnya sebagian warga suka membuang berbagai sampah di situ sehingga menebar bau busuk dan membuat kotor lingkungan.

Kondisi itu kini berbalik 180 derajat. Sepanjang 90 meter dari saluran irigasi yang melintasi kampung diubah menjadi kolam ikan yang bersih, tidak bau dan indah dilihat.

Jenis-jenis ikan yang dipelihara adalah nila, lele, tombro dan koi. Setiap kali panen, didapat 1,5 ton ikan lele dan nila, yang dijual dengan harga Rp 48 juta.

Penghasilan ini digunakan untuk membiayai operasional usaha itu, seperti membeli pakan ikan.

Adapun ikan tombro dan koi berperan sebagai penunjuk kadar air. Jika kualitas air jelek, maka ikan-ikan itu naik ke permukaan. Petugas pun melakukan pembersihan.

Perubahan fungsi saluran irigasi tidak terjadi dengan cepat dan mudah. Beberapa warga dari dua RT yang dilintasi saluran irigasi berkumpul dan sepakat untuk menjadikan saluran irigasi sebagai kolam ikan.

Proses ini tentu tidak sekali terjadi, namun berulang kali sampai terbentuk semangat dan kesepakatan untuk membersihkan dan memanfaatkan saluran irigasi.

Mereka lalu membentuk usaha budidaya Mina Julantoro. Julantoro adalah nama jembatan yang ada di kampung itu.

Warga lalu bergotong royong membuang sampah dan mengeruk saluran irigasi agar tidak dangkal.

Untuk mengisinya dengan ikan, warga membuat proposal ke dinas terkait, yang disetujui setahun kemudian, sesuai siklus anggaran.

Baca juga: Finlandia Paling Bahagia, Indonesia Paling Dermawan

Saat berita itu diliput Kompas.com (26/11/2020), sudah lima kali panen dilakukan. Untuk menjaga keberlanjutan usaha pemeliharaan ikan ini, kedua RT membuat peraturan tentang larangan memancing ikan di kolam milik bersama itu. Mereka yang melanggar akan dilaporkan ke pihak kepolisian.

Perubahan positif telah terjadi, ekosistem baru telah terbentuk. Kini warga menikmati keberadaan kolam ikan di saluran irigasi tanpa mengeluh.

Itu adalah contoh dari kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Berbeda dengan wirausahawan biasa, wirausahawan sosial tidak bermotif mencari keuntungan (profit), melainkan mencari manfaat bagi masyarakat (return to society).

Motivasi utamanya adalah menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Ini tidak berarti pelakunya antiprofit, melainkan menjadikan profit hanya sebagai alat untuk menyelesaikan masalah.

Usahawan sosial tidak berhenti berupaya sebelum masalah yang dihadapi masyarakat terselesaikan.

Kepuasan mereka bukan cuan yang banyak, melainkan berkurangnya beban sekelompok orang.

Seperti yang dicontohkan tadi, hilangnya sampah di saluran irigasi yang melewati kampung adalah tujuan utama warga di kampung itu.

Baca juga: Kota 15 Menit untuk Masyarakat Sehat Jasmani dan Rohani

Bahwa saluran irigasi kemudian dapat dijadikan kolam ikan yang menghasilkan uang, itu adalah bagian dari upaya untuk menjaga kebersihan saluran irigasi untuk seterusnya.

Konsep kewirausahaan sosial digali ilmuwan sejak tahun 1980-an (Wikipedia: Social Entrepreneurship).

Ilmuwan terkenal konsep ini antara lain Charles Leadbeater (The Rise of the Social Entrepreneur, 1997), Gregory Dees (The Meaning of Social Entrepreneurship, 1998), David Bornstein (How to Change the World, 2007), Hartigan dan Elkington (The Power of Unreasonable People, 2008).

Keberadaan kewirausahaan sosial di Indonesia juga tidak luput dari perhatian akademisi, antara lain Bevaola Kusumasari (The Business Model of Social Entrepreneurship in Indonesia, 2015) dan Aida Idris & Rahayu Hijrah Hati (Social Entrepreneurship in Indonesia: Lessons from the Past, 2013).

Contoh kewirausahaan sosial di Indonesia adalah sekolah yang didirikan R.A. Kartini di Jepara untuk kaum perempuan pribumi pada era penjajahan Belanda.

Lembaga-lembaga pendidikan dan rumah sakit yang didirikan oleh Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan yayasan-yayasan berbasis agama lain adalah bentuk kewirausahaan sosial lain dalam skala besar.

Wirausahawan sosial kini semakin banyak bermunculan. Sebagai contoh, sebuah perusahaan riset swasta memilih 10 wanita di Indonesia sebagai wirausahawan sosial terbaik pada tahun 2016.

Sebuah bank swasta menyelenggarakan program Social Enterprise Bootcamp, untuk mendorong pebisnis muda Indonesia ikut menyelesaikan masalah sosial melalui inovasi bisnis usaha sosial.

Di negara lain, kewirausahaan sosial yang terkenal adalah Grameen Bank, yang didirikan oleh Muhammad Yunus di Bangladesh pada tahun 1974.

Bank ini memberikan pinjaman bernilai kecil tanpa jaminan, yang sebelumnya menjadi kendala besar bagi pengusaha kecil.

Keberhasilan Grameen Bank menginspirasi pendirian bank serupa di banyak negara berkembang.

Muhammad Yunus mendapat hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2006 sebagai pengakuan atas upayanya membantu masyarakat miskin khususnya kaum perempuan.

Baca juga: Memajukan UMKM untuk Mengurangi Ketimpangan

Contoh lain adalah the Schwab Foundation for Social Entrepreneurship yang didirikan oleh Professor Klaus Schwab di Genewa, Swiss, yang juga pendiri World Economic Forum (WEF).

Kewirausahaan sosial adalah kebutuhan setiap masyarakat dan negara. Pemerintah dan bisnis bermotif profit tidak dapat menjangkau semua masalah yang ada di masyarakat.

Ada kelompok-kelompok yang termarjinalkan karena keterbatasan pendidikan, fisik, dan kesempatan.

Banyak masalah lingkungan yang terjadi di tingkat lokal, yang tidak terlihat oleh pemerintah dan tidak memiliki nilai finansial untuk dikelola pengusaha.

Di pihak lain, ada saja orang-orang yang berjiwa altruistik, yang ingin membantu mengatasi masalah yang dihadapi orang lain.

Mereka tidak tergiur materi, pengakuan, atau suara saat pilkada. Mereka puas jika orang banyak merasa gembira karena beban hidupnya berkurang.

Mereka adalah inovator yang mengubah pola berpikir dan cara bertindak konvensional. Mereka umumnya bergerak dalam skala lokal, mengatasi masalah yang konkret, dengan sumber daya sendiri yang dihimpun secara sukarela.

Kalaupun mengirim proposal dana/bantuan, tidak ada biaya yang di-mark up, tidak ada pengeluaran untuk honor pengurus. Mereka bisa membedakan pekerjaan sosial dengan pekerjaan pribadi.

Untuk itu sudah selayaknya kewirausahaan sosial mendapat pengakuan oleh pemerintah. Kewirausahaan sosial perlu difasilitasi, didukung dan dipermudah.

Ada undang-undang dan peraturan yang menjadikan kewirausahaan sosial dilindungi dan dikembangkan.

Kewirausahaan sosial perlu diperkenalkan di sekolah-sekolah untuk menciptakan generasi yang peka dengan masalah sosial dan siap mencari solusinya.

Wirausahawan sosial perlu mendapat penghargaan karena perhatian, komitmen dan kerja keras yang dilakukannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com