Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tanya-tanya Pajak di Kompas.com
Konsultasi dan Update Pajak

Tanya-tanya Pajak merupakan wadah bagi Sahabat Kompas.com bertanya (konsultasi) dan memperbarui (update) informasi seputar kebijakan dan praktik perpajakan.

Tarif PPN Jadi 11 Persen Per 1 April 2022, Masih Bisa Naik Lagi Juga

Kompas.com - 01/04/2022, 15:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

SETURUT penerbitan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), sejumlah tarif perpajakan mengalami penyesuaian. Mulai 1 April 2022, misalnya, tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dipatok menjadi 11 persen, naik dari sebelumnya 10 persen. 

Namun, UU HPP menyatakan pula dalam pasal yang sama bahwa tarif PPN masih bisa naik lagi menjadi 12 persen, selambat-lambatnya pada 2025. Selain itu, besaran PPN juga dapat disesuaikan lagi oleh pemerintah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

Pengubahan besaran tarif PPN ke depan, merujuk UU HPP, cukup dilakukan dengan penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah pembahasan bersama DPR dan disepakati dalam penyusunan RAPBN. 

Baca juga: Poin Penting Perubahan dan Tambahan Aturan Pajak di UU HPP

PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, penyebutannya adalah value added tax (VAT) atau goods and services tax (GST). 

Tarif PPN 11 persen bukan harga mati

Ketentuan tarif PPN menjadi 11 persen tertuang pada Pasal 7 UU HPP. Dalam hal PPN, UU HPP merupakan perubahan kelima atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Penyebutan untuk UU PPN cukup unik. Meski menggunakan penomoran bertahun 1983, UU ini jamak pula disebut sebagai UU Pajak Pertambahan Nilai 1984. 

Menjadi semakin unik karena penyebutan ini pun merujuk pada teks UU itu sendiri, tepatnya di Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah diubah beberapa kali dengan perubahan terakhir tercakup di dalam UU HPP.

Inilah yang mendasari penamaannya menjadi UU PPN sekaligus lazim disebut sebagai UU PPN 1984.

Kembali ke soal tarif, pengaturan persentase besarannya tercantum dalam Pasal 7 UU PPN. Ayat (1) huruf a pasal ini mengatur tentang pemberlakuan tarif 11 persen mulai 1 April 2022, sementara huruf b dari ayat satu pasal yang sama menyatakan tarif PPN akan naik menjadi 12 persen paling lambat pada 1 Januari 2025. 

Baca juga: Beli Sekarang, Tahun Depan PPN dan Harga-harga Naik!

Namun, Pasal 7 ayat (3) UU PPN menyatakan juga bahwa tarif pajak ini dapat berubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Tanpa ada waktu spesifik untuk kemungkinan ini. Penjelasan UU menyebut, rentang tarif ini dimungkinkan berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau kebutuhan dana untuk pembangunan.

Pasal 7 ayat 4 UU PPN menyatakan, kemungkinan perubahan tarif dalam rentang 5-15 persen tersebut harus dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) setelah disampaikan ke DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN).

Tarif 0 persen PPN

Perubahan kelima UU PPN di UU HPP mengatur pengenaan tarif PPN 0 persen di Pasal 7 ayat (2). Besaran tarif ini diberikan untuk ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang tak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak. 

Penjelasan UU atas pasal ini menyatakan, PPN dikenakan atas konsumsi barang kena pajak dan atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean. Oleh karena itu, atas ekspor barang kena pajak dan atau jasa kena pajak untuk konsumsi di luar daerah pabean dikenai PPN 0 persen.

Meski demikian, penjelasan UU merinci pula bahwa pengenaan tarif 0 persen PPN untuk ekspor barang kena pajak dan jasa kena pajak ini tidak berarti pembebasan PPN. Karenanya, yang terjadi adalah pajak masukan yang dibayar untuk perolehan barang kena pajak atau jasa kena pajak itu dapat dikreditkan. 

Baca juga: Apakah PPN Jasa Kontraktor Dapat Dikreditkan?

Sederhananya, PPN-nya tetap dihitung sebagai dibayar dulu sesuai tarif berlaku tetapi kemudian dikreditkan di perhitungan dan pelaporan pajak. Ini terkait dengan konsep pajak masukan dan pajak keluaran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com