Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seberapa Siap Perbankan Indonesia Menghadapi Era Digitalisasi?

Kompas.com - 04/04/2022, 05:39 WIB
Ibrahim Kholilul Rohman,
Erlangga Djumena

Tim Redaksi

Oleh Ibrahim Kholilul Rohman dan Afif Narawangsa Luviyanto

DIGITALISASI merupakan proses yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan masyarakat modern saat ini. OECD merumuskan digitalisasi sebagai sebuah proses yang ditandai dengan penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terutama internet secara massif merubah tatanan baik dari sisi permintaan maupun penawaran sektor-sektor ekonomi.

Di sisi penawaran, digitalisasi ditandai dengan “creative destruction” yang menempatkan research and development (R&D) dan inovasi sebagai sumber keunggulan kompetitif (competitive advantage) suatu perusahaan.

Perusahaan yang tidak inovatif akan tergilas oleh ketatnya persaingan. Sebaliknya, di sisi permintaan, digitalisasi ditandai dengan kemunculan berbagai macam fitur baru yang adopsinya bisa meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat baik untuk keperluan transaksi, jasa keuangan, pendidikan, kesehatan dan fungsi-fungsi yang lain.

Covid-19 menjadi blessing in disguise bagi negara berkembang seperti Indonesia, adopsi internet dan TIK lainnya berjalan dengan jauh lebih cepat. Dari sekian banyak indikator, pertumbuhan dari Gross Merchandise Value (GMV) dari ekonomi internet menjadi salah satu indikator.

Baca juga: Berebut Renyahnya Pasar Milenial, Ramai-ramai Jadi Bank Digital

Laporan Google, Temasek, dan Bain menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan GMV Indonesia sebesar 49 persen sepanjang puncak Covid-19 di tahun 2020-2021. Pertumbuhan ini ditaksir mencapai 20 persen selama beberapa tahun ke depan hingga tahun 2025. Dengan tingkat pertumbuhan tersebut, GMV Indonesia diproyeksikan mencapai 146 miliar dollar AS yang menjadi nilai tertinggi di ASEAN.

Bagaimana dengan proses digitalisasi di sektor keuangan yang menjalankan fungsi sebagai
intermediaries dalam perekonomian? Sudahkah perbankan di Indonesia menunjukkan tingkat digitalisasi yang sebanding dengan negara lain?

Secara historis, transformasi digital adalah bagian yang tidak terpisahkan di sektor perbankan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas customer experience dari waktu ke waktu.

Sebagai ilustrasi, transformai tersebut ditandai dengan diperkenalkannya Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang memungkinkan transakasi nasabah terjadi tanpa harus datang ke kantor bank secara fisik.

Selanjutnya pengenalan Computer Banking dan Mobile Banking memberikan kesempatan terhadap eksternsifikasi jasa-jasa perbankan secara lebih luas. Application Programming Interface (API) berkembang di era sistem open banking yang diterapkan dengan tujuan untuk mendorong konektifitas antara perbankan dan fintech dengan lebih terpadu dan cepat.

Yang menarik, dalam setiap bentuk transformasi digital tersebut, perbankan Indonesia menunjukkan leap-frogging effect yang signifikan. Misalnya, perbankan Indonesia membutuhkan waktu 20 tahun dalam penerapan teknologi ATM dibandingkan dengan perbankan di Inggris yang menerapkan pertama kali.

Gap ini menyempit terkait dengan adopsi e-banking. Perbankan di Indonesia hanya berjarak 17 tahun dibandingkan dengan penerapan e-banking pertama yang diinisiasi di Amerika
Serikat pada tahun 1981. Puncaknya, Indonesia hanya membutuhkan enam tahun untuk memiliki bank digital pertama sejak Webank diluncurkan di China.

Implikasinya, dalam beberapa tahun terakhir, transformasi digital di industri perbankan di Indonesia telah berhasil melahirkan beberapa bank digital sebagai bentuk tranformasi dari perbankan yang sudah ada maupun sebagai sebuah standalone bank digital.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjelaskan layanan perbankan digital merupakan kegiatan perbankan dengan menggunakan sarana elektronik atau digital milik bank yang memungkinkan transkasi keuangan dilakukan secara mandiri oleh nasabah.

Saat ini, masyarakat memiliki banyak pilihan bank digital di antaranya Jenius (Bank BTPN), Wokee (Bank Bukopin), Digibank (Bank DBS), TMRW (Bank OUB), Jago (Bank Jago), Livin by Mandiri (Bank Mandiri) dan Blu (Bank BCA).

Baca juga: Saat Bank Memulai Rencana Ekspansi ke Metaverse...

Merujuk studi dari Chiorazzo pada tahun 2018, proses bisnis perbankan bisa dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tradisional dan non tradisional.

Proses bisnis tradisional digambarkan dengan dua karakteristik, dari sisi aktivitasnya, perbankan memiliki fokus utama hanya sebagai financial intermediaries yang berperan dalam menyalurkan dana dari ultimate lenders ke ultimate borrowers.

Sementara dari sisi interaksi dengan nasabah, bank tradisional mengandalkan keberadaan fungsi fisik kantor cabang baik untuk berinteraksi dengan nasabah maupun melakukan retention nasabah lama.

Berbeda dengan proses bisnis tradisional, proses bisnis bank non tradisional memiliki jenis produk yang terdiversifikasi, misalnya penyediaan jasa asuransi, investasi, dan jual beli aset lebih dari sekedar fungsi financial intermediaries.

Berdasarkan katagori tersebut, studi IFG progress menunjukkan bahwa dari 58 bank yang diobservasi dengan berbagai klasifikasi Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI), sekitar 41 persen dari total bank di Indonesia memilki proses bisnis tradisional, 39 persen bank dengan bisnis non tradisional, dan sisanya dalam masa transisi antara tradisional dan non tradisional.

Selanjutnya, dari sisi customer experience, level digitalisasi perbankan dapat dianalisa dengan
menggunakan digital surface index yaitu indeks komposit yang menggambarkan kinerja digitalisasi sebuah bank mulai dari pembukaan rekening bank, layanan jasa nasabah, keamanan pada aplikasi perbankan, pengajuan pinjaman hingga penutupan rekening bank yang semuanya dilakukan melalui kanal digital.

Hasilnya adalah 53 persen di Indonesia sudah termasuk dalam kategori bank digital sementara 47 persen terkategori sebagai bank non-digital.

Hubungan antara pengelompokan bank berdasarkan proses bisnis dan customer experience juga menghasilkan temuan yang menarik. Terdapat korelasi bahwa bank-bank digital juga bersifat non tradisional.

Secara lebih spesifik, 45,16 persen dari bank digital menjalankan bisnis secara non tradisional, 35,48 persen memiliki proses bisnis secara tradisional dan 19,35 persen dalam masa transisi antara non tradisional dan tradisional.

Sebaliknya, bank non-digital masih didominasi oleh perbankan dengan proses bisnis tradisional sebesar 48,15 persen, non tradisional sebesar 33,33 persen, dan masa transisi sebesar 18,52 persen.

Dengan fakta di atas diperlukan upaya untuk mendorong transformasi digital lebih lanjut dengan dukungan regulasi yang bisa memfasilitasi adopsi teknologi di sektor perbankan lebih efektif.

Peraturan tentang bank digital di Indonesia umumnya merujuk pada POJK.03 tahun 2021 Nomor 12 yang menjelaskan bahwa bank digital adalah bank berbadan hukum dengan model bisnis perbankan digital yang pruden serta berkesinambungan dan berfokus pada kanal digital dengan pembatasan kantor fisik.

Baca juga: Soal Harga Saham Bank Digital, Lo Kheng Hong: Sangat Mengerikan, Saya Enggak Berani Sentuh...

Dalam aspek regulasi ini, beberapa negara Asia menerapkan tambahan aturan yang mungkin bisa diadopsi di Indonesia misalnya aturan sumber daya manusia.

Kualifikasi dari organisasi bank digital mengharuskan top management memiliki keahlian khusus dalam bidang digital untuk menjamin proses bisnis yang berkelanjutan. Hal ini diperlukan mengingat bank digital umumnya akan berhadapan dengan kebutuhan fixed cost yang mahal di tahap awal.

Beberapa negara juga tidak mensyaratkan adanya jumlah minimal deposit atau biaya saldo dengan tujuan meningkatkan daya saing serta mendorong inklusi keuangan dari perbankan digital dengan tetap menjaga level kehati- hatian.

Dapat disimpulkan bahwa sektor perbankan adalah salah satu sektor yang mengalami transformasi digital secara masif selama periode pandemi. Terlebih, inovasi yang terjadi di sektor perbankan bertujuan untuk memaksimalkan features dalam kondisi mobilitas masyarakat yang terbatas.

Studi ini menunjukkan bahwa penetrasi digital perbankan akan berhubungan dengan pergeseran aktifitas non tradisional perbankan di Indonesia. Untuk itu, diperlukan aspek regulasi yang bisa memfasilitasi adopsi teknologi dan inklusi keuangan dengan lebih baik ke depan.

 

Ibrahim Kholilul Rohman - Senior Research Associate di IFG Progress
Afif Narawangsa Luviyanto - Research Associate di IFG Progress

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com