Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Said Abdullah
Ketua Badan Anggaran DPR-RI

Ketua Badan Anggaran DPR-RI. Politisi Partai Demoraksi Indonesia Perjuangan.

Prediksi Arah Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal 2023

Kompas.com - 05/04/2022, 08:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tantangan

Untuk mencapai target pertumbuhan titik tengah dari target pemerintah di posisi 5,6 persen tentu tidak mudah. Kita harus mampu memetakan berbagai tantangan yang bisa menjadi hambatan sekaligus peluang.

Besar kemungkinan pada tahun ini ekonomi Eropa dan Amerika Serikat akan terkoreksi akibat inflasi yang tinggi, dan kenaikan harga minyak dan gas bumi (migas), serta beberapa komoditas konsumsi, khususnya bahan pangan.

Bila kecamuk perang Ukraina dan Rusia bisa segera de-eskalasi, tekanan ekonomi yang dihadapi oleh Eropa dan Amerika Serikat juga tidak berlangsung lama. Sehingga tahun 2023 adalah tahun pemulihan ekonomi di kedua kawasan tersebut. Besar kemungkinan pada tahun ini The Fed akan melakukan tapering off untuk menekan tingkat konsumsi, dan mendorong peningkatan tabungan masyarakat.

Imbas kebijakan ini, dollar AS akan “pulang kampung”, dan memberikan tekanan terhadap rupiah karena demand terhadap dolar naik. Saya perkirakan suku bunga lebih tinggi masih akan dipertahankan The Fed hingga tahun depan.

Selain itu, kita harus mewaspadai potensi ketegangan kawasan di Semenanjung Korea dan Laut China Selatan. Gigihnya Tiongkok untuk mengambil Taiwan, dan perlombaan senjata di kedua Korea bagaikan perang proxy berskala besar di halaman depan rumah kita.

Bila ini terjadi maka kita harus bersiap menghadapi resiko ekonomi, antara lain; pasar ekspor impor yang terganggu, target investasi yang kemungkinan sulit tercapai, dan kembali menghadapi hantaman kenaikan harga minyak dan gas dunia. Sebab negara-negara yang bersitegang adalah mitra dagang utama kita, bahkan berkontribusi besar bagi investasi asing di Indonesia. Resikonya target pertumbuhan ekonomi yang kita patok 5,6 persen akan sulit tercapai.

Tahun depan kita harus kembali ke defisit APBN di bawa 3 persen PDB seperti bangunan APBN kita prapandemi. Mandatori ini mengakibatkan belanja pemerintah tidak bisa lagi melonjak tinggi, jauh di atas pendapatan negara. Jika belanja pemerintah naik, harus diimbangi dengan pendapatan yang naik pula. Padahal tahun depan bisa jadi kita tidak lagi menikmati booming harga komoditas seperti akhir tahun lalu dan tahun ini, meskipun harga komoditas dunia masih cukup tinggi dibanding tahun 2020.

Perkembangan Covid-19 harus tetap kita waspadai sebagai bahaya laten. Di tengah perintah regulasi yang memaksa kita untuk kembali ke fiskal normal, kita tidak memiliki lagi amunisi yang berlebih seperti tahun 2020 dan 2021 untuk penanganan dampak kesehatan. Oleh sebab itu pemerintah jangan lengah, seperti yang dialami Tiongkok, yang sesaat merasakan kemenangan melawan pandemi, tetapi kini kembali terpukul.

Kita juga harus waspada dan antisipatif pasca-La Nina yang diperkirakan oleh Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) akan berakhir di pertengahan tahun ini. Perubahan musim yang cepat akibat climate change, kita perlu waspada bila ada durasi masa kemarau yang panjang. Masa kemarau yang panjang berpotensi menurunkan produksi beras nasional.

Kebijakan

Kecanduan kita terhadap minyak dan gas bumi membuat pemerintah dan rakyat kesulitan. Suplai minyak bumi yang ditopang dari impor menimbulkan kerentanan serius terhadap APBN kita. Pemerintah harus menempuh berbagai cara untuk meningkatkan lifting migas kita.

Oleh sebab itu, orientasi kebijakan fiskal harus mengupayakan untuk meningkatkan kapasitas produksi di hulu migas. Kita juga perlu menyegerakan operasionalisasi refinery kita di tahun depan, baik untuk minyak bumi, maupun gas alam cair.

Dengan pencadangan migas yang banyak, kita bisa meminimalisir gejolak harga migas. Untuk menjaga resiliensi APBN 2023 terhadap gejolak harga migas, saya mengusulkan ICP (Indonesia Crude Price/harga patokan minyak mentah Indonesia) ditetapkan 80 dollar AS/barel dan lifting setidaknya 800 ribu barel perhari.

Kemungkinan besar pada tahun depan The Fed masih akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi, sebagai kelanjutan dari kebijakan tapering off yang tampaknya akan diberlakukan tahun ini. Untuk mengantisipasi depresiasi rupiah terhadap dollar AS, kita harapkan pemerintah dan BI terus meningkatkan kerja sama bilateral dengan negara mitra dagang strategis untuk penggunaan local currency settlement. Pada asumsi makro APBN 2023, saya usulkan kurs rupiah berada di level 14.400-14.900 per dollar.

Tahun depan Amerika Serikat dan Eropa berpotensi mengalami pemulihan ekonomi setelah tahun ini dihantam inflasi tinggi dan berpotensi resesi. Peluang pemulihan ekonomi kedua kawasan tersebut harus mampu kita gunakan sebagai momentum untuk meningkatkan porsi ekspor kita. Ekspor kita ke Amerika Serikat masih 11,4 persen, dan ke Eropa hanya 8,8 persen, itu pun yang berskala besar hanya di Belanda, Jerman, Italia, Spanyol dan Inggris.

Strategi ini sekaligus sebagai jalan mitigatif kita bila terjadi penurunan nilai ekspor kita ke Tiongkok, Jepang, dan Korsel bila kawasan ini terlibat ketegangan militer. Ekspor kita ke Tiongkok, Jepang, dan Korsel porsinya mencapai 31,8 persen dari total ekspor Indonesia.

Kita juga perlu jitu membaca pasar di Timur Tengah untuk meningkatkan ekspor. Apalagi sejak akhir tahun 2021 hingga kini mereka panen raya dari lonjakan harga minyak bumi. Menindaklanjuti tujuan itu, prioritas kebijakan fiskal kita pada tahun depan harus mampu memberikan dukungan dan fasilitas pengembangan ekspor, terutama ke negara negara yang menjadi tujuan.

Terakhir, untuk menopang peningkatan investasi, arah kebijakan fiskal kita harus mulai bergeser. Porsi investasi kita selama ini terakumulasi di bangunan, sebaliknya sangat rendah di mesin, peralatannya, dan kekayaan intelektual.

Fakta ini menandakan inovasi dan produk kita kurang berkembang dan beragam. Lebih dari 75 persen investasi kita di sektor bangunan, sementara mesin dan perlengkapannya hanya 10,5 persen, dan kekayaan intelektual lebih kecil lagi, hanya 2,3 persen.

Arah kebijakan investasi ini harus diubah. Kebijakan fiskal kita harus memberi peluang besar untuk mesin dan kekayaan intelektual. Bila tidak diubah, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kita tetap tinggi (lebih dari 6 persen), bahkan tertinggi di Asean. Hal ini menyebabkan barang barang ekspor kita kalah kompetitif di harga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com