Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Siap-siap, Uni Eropa Pertimbangkan Sanksi Minyak dan Batu Bara ke Rusia

Kompas.com - 05/04/2022, 17:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NEGARA-negara Uni Eropa akan membahas kemungkinan menambah sanksi Rusia ke sektor minyak dan batu bara. Lonjakan korban sipil jadi dasar pertimbangan. 

Uni Eropa merupakan kawasan yang akan terdampak besar bila sanksi ini benar-benar dilakukan. Beranggotakan 27 negara, Uni Eropa sejauh ini menahan sanksi untuk Rusia tak merengkuh wilayah energi.

Jerman menjadi negara yang selama ini paling menahan upaya sanksi energi bagi Rusia. Sanksi ini diyakini akan berdampak besar bagi ekonomi domestik dan kawasan tersebut. 

Namun, perkembangan situasi invasi Rusia ke Ukraina, terutama kabar eksekusi warga sipil di Bucha, mendorong Uni Eropa untuk melangkah lebih jauh. Perancis, misalnya, pada Selasa (5/4/2022), sudah menyatakan dukungan untuk sanksi lebih luas, termasuk ke wilayah energi.

Moskwa menyangkal ada pembantaian sipil di Bucha dan kota-kota lain di Ukraina. Adapun dari Ukraina disebutkan bahwa serangan Rusia masih fokus di kawasan timur, dengan sasaran target serangan ke Pelabuhan Mariupol.

Pekan lalu, Amerika Serikat telah menyuarakan sanksi lebih lanjut ke Rusia mulai pekan ini. Kementerian Keuangan, misalnya, sudah menghentikan pembayaran utang dalam mata uang dollar AS dari Rusia ke lembaga-lembaga keuangan di Amerika Serikat. 

Baca juga: Krisis Pangan Global, Ancaman Lebih Besar dari Invasi Rusia ke Ukraina

Langkah pemutusan pembayaran Rusia tersebut dirancang untuk memaksa Rusia memilih di antara tiga opsi yang tidak menarik, yaitu menguras cadangan dollar AS yang disimpan di negaranya sendiri, membelanjakan pendapatan baru, atau gagal bayar (default), seperti dikutip Bloomberg dari sumbernya Kantor Pengawasan Aset Asing Departemen Keuangan yang membahas perincian keputusan tersebut dengan syarat anonim.

Sebagaimana dilansir New York Times, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menyebut bahwa lebih dari 300 orang telah disiksa dan dibunuh di Bucha, sembari menambahkan kemungkinan angkat itu bertambah.

Pemerintahnya, kata Zelensky, telah membuka investigasi atas itu. Pada Senin (4/4/2022) waktu setempat, dia mendatangi Bucha dan kota-kota lain di sekitar Kyic, termasuk Stoyanka dan Irpin, yang menjadi tempat pertempuran sengit selama beberapa hari.

Sebagaimana diberitakan Bloomberg, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dijadwalkan segera mengunjungi Ibu Kota Ukraina pada pekan ini untuk bertemu Zelensky. Mereka akan membahas soal penggalangan dana bantuan bagi Ukraina.

Pada Selasa, Zelensky dijadwalkan bicara di Dewan Keamanan PBB. Sumber Bloomberg menyebutkan pula bahwa ada pembicaraan telepon petinggi diplomat dari Beijing dan Kyiv, yang memunculkan sinyal baru bahwa Presiden China Xi Jinping akan segera bicara dengan Zelensky. 

Sejauh ini, China telah mendapat banyak tekanan untuk menentukan sikap terkait invasi Rusia ke Ukraina. 

Dari Jerman, Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier mengakui telah gagal merangkul Rusia sekalipun telah membuat beragam kebijakan termasuk mendukung pembangunan jaringan pipa gas bawah laut Nord Stream 2.

“Kami gagal dengan upaya mengikat Rusia ke dalam arsitektur keamanan Eropa dan kami gagal dengan upaya untuk membawa Rusia di jalan menuju demokrasi,” kata Steinmeier seperti dikutip Bloomberg pada Selasa (5/4/2022). 

Merujuk data Castellum ai—situs basis data sanksi internasional—, Rusia mendapat 5.532 sanksi internasional hingga 7 Maret 2022 pukul 12.30 WIB. Rinciannya, 2.754 sanksi sudah Rusia terima sebelum 22 Februari 2022 dan 2.778 sanksi didapat Rusia sejak 22 Februari 2022 hingga 7 Maret 2022 pukul 7.30 WIB.

Baca juga: Rusia Jadi Negara Kena Sanksi Terbanyak, Apa Pengaruhnya buat Kita?

Akumulasi sanksi yang diterima Rusia melejit lagi, menjadi 8.068 sanksi, menurut data hingga 4 April 2022, menempatkannya sebagai negara dengan sanksi internasional terbanyak. Sanksi yang didapat Rusia sejak 22 Februari 2022 melonjak menjadi 5.314. 

Harga minyak melejit lagi

Di pasar forward minyak, minyak mentah ditutup melonjak lebih dari 3 persen pada akhir perdagangan Senin (4/4/2022) waktu setempat. Investor khawatir dengan ekpekstasi penurunan pasokan seturut perkembangan situasi di Ukraina. 

Patokan harga minyak Brent di London ditutup naik 3,14 dollar AS per barrel atau naik 3 persen, menjadi 107,53 dollar AS per barrel. Adapun West Texas Intermediate (WTI) di Amerika mencatatkan kenaikan harga 4,01 dollar AS atau 4 persen menjadi 103,28 dollar AS per barrel. 

Seperti dikutip Reuters, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin dan pendukungnya akan merasakan konsekuensi dari peristiwa di Bucha. Adapun Presiden Perancis Emmanuel Macron menyarankan sanksi terhadap minyak dan batu bara untuk Rusia, sembari menambahkan ada petunjuk yang sangat jelas yang menunjukkan kejahatan perang oleh pasukan Rusia.

"Bila AS dan UE mengurangi pembelian minyak Rusia, tinggal China dan India pelanggan utama yang tersisa dan banyak kilang di negara-negara itu mungkin enggan membeli minyak Rusia dengan hubungan masyarakat negatif yang terkait," kata Andrew Lipow, presiden Lipow Oil Associates di Houston, seperti dikutip Reuters, Selasa (5/4/2022)

Harga minyak mentah dunia untuk pengiriman April 2022 dan seterusnya sempat turun 13 persen pada pekan lalu, ketika Presiden AS Joe Biden mengumumkan rekor cadangan minyak negaranya. Sentimen itu diperkuat lagi dengan komitmen dari Badan Energi Internasional untuk optimalisasi pemanfaatan cadangan minyak. 

Seturut invasi Rusia ke Ukraina, harga minyak mentah dunia sempat menembus harga 139 dollar AS per barrel di pasar Brent, yang itu merupakan harga tertinggi sejak 2008. 

Aramco, produsen minyak dari Arab Saudi, dalam dokumen yang dilihat oleh Reuters, telah mematok kenaikan harga juga untuk pengiriman minyak pada Mei 2022 ke pasar Asia. 

"Itu menunjukkan permintaan minyak masih sangat kuat. Melakukan (sanksi minyak) itu akan menguras pasokan minyak dari Amerika Serikat dan membuat pasokan lebih ketat," kata Phil Flynn, analis di Price Futures Group, seperti dikutip Reuters.

Perkembangan situasi di Ukraina ini sampai membuka pembicaraan lanjutan untuk mencabut sanksi minyak untuk Iran. Sebelumnya, Iran terkena sanksi minyak terkait tuduhan pengembangan teknologi nuklir untuk persenjataan. 

Bersamaan, setelah konflik horisontal tujuh tahun, Yaman memberlakukan dua bulan gencatatan senjata. Perkembangan ini diyakini membantu mengurangi ancaman pasokan minyak di kawasan Timur Tengah.

Konflik di Yaman melibatkan koalisi pimpinan Arab Saudi dan kelompok Houthi yang bersekutu dengan Iran. Selama konflik, fasilitas minyak Arab Saudi merupakan salah satu sasaran serangan kelompok Houthi. 

Naskah: KOMPAS.com/PALUPI ANNISA AULIANI

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com