Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Skystar Capital
Pemodal Ventura

Skystar Capital adalah pemodal ventura yang berfokus pada pendanaan awal untuk membantu akselerasi bisnis rintisan teknologi. Skystar Capital hadir sebagai solusi bagi para pendiri untuk memberikan bantuan modal, saran, dan kemitraan strategis untuk meningkatkan skala bisnis.

Skystar Capital didukung oleh berbagai grup perusahaan terkemuka di berbagai bidang seperti media, telekomunikasi, layanan keuangan, layanan kesehatan, sektor pendidikan, dan lain-lain. Kami memberikan akses melalui jaringan profesional untuk pengembangan bisnis perusahaan rintisan.

Ingin lebih kenal dengan kami? Bisa follow kami di Instagram (@skystar.vc) atau Linkedin Skystar Capital. Juga kunjungi situs kami www.skystarcapital.com atau kalau ingin berbincang dengan kami, kirimkan surel ke contact@skystarcapital.com 

Potensi dan Tantangan Model Bisnis D2C di Tengah Persaingan Pasar Digital

Kompas.com - 12/04/2022, 15:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BERBELANJA secara daring (online) tak dimungkiri telah menjadi alternatif praktis untuk memenuhi pasokan kebutuhan harian di masa pandemi. Survei global, membuktikan bahwa milyaran orang yang terdampak pandemi COVID-19, berperan mendorong adanya perubahan bersejarah dan dramatis dalam perilaku konsumen.

Ditambah dengan kebijakan pembatasan wilayah (lockdown) di berbagai belahan dunia, turut mengakselerasi kegiatan rutin yang kini lebih banyak dilakukan di rumah, seperti bekerja, belajar, hingga tak terkecuali belanja melalui gawai pintar.

Mayoritas konsumen juga tidak berpikir untuk kembali ke cara belanja konvensional setelah pandemi berakhir atas dasar kenyamanan dan kesehatan. Tidak mengherankan hal ini turut merubah lanskap banyak usaha yang merambah model bisnis Direct-to-Consumer (D2C), salah satunya melalui e-dagang.

Bisnis berbasis D2C adalah ketika sebuah jenama menjual produknya ke pengguna secara langsung. Berbeda dengan sistem jual-beli ketika jenama mendistribusikan produk hanya melalui mitra ritel, seperti supermarket atau toko. Tujuan model bisnis D2C adalah untuk membuat perusahaan semakin independen dalam hal komersialisasi produk atau memberikan layanan secara langsung kepada konsumen.

Baca juga: Bank Mandiri Siapkan Rp 28 Triliun untuk Kebutuhan Uang Tunai Lebaran

Apa keuntungan yang ditawarkan bisnis D2C?

Model bisnis D2C dirancang untuk memusatkan fokus pada pengguna atau konsumen sehingga akhirnya mampu memberikan pengalaman yang lebih baik. Melansir MJV, salah satu konsultan manajemen teknologi di Brazil, ada tiga keuntungan utama dalam penerapan bisnis D2C.

Pertama, akan ada pengurangan biaya dalam proses distribusi produk. Jika sebelumnya, perusahaan harus menjual produk melalui grosir dan pengecer dengan harga yang lebih murah, maka dengan menghilangkan tahapan ini dan langsung menjualnya ke konsumen, justru akan memberikan keuntungan lebih bagi perusahaan.

Kedua, D2C memudahkan pebisnis dalam membidik target pasar secara tepat. Melalui strategi digital yang didukung oleh data dan terus diperbaharui, maka akan semakin banyak wawasan yang didapatkan tentang pelanggan. Dengan segmentasi pasar yang lebih mudah terpetakan, pemasaran produk yang ditawarkan pun akan semakin terpersonalisasi. Dengan memiliki sistem distribusi sendiri, sangat mungkin bagi jenama menciptakan indikator kinerja yang tepat untuk tujuan pemasaran dan penjualan.

Baca juga: Intip Tren Bisnis Saat Ramadhan untuk Tingkatkan Penjualan Para Pelaku Usaha

Bertahan di tengah perkembangan pasar digital

Menurut Schlesinger, Higgins, Roseman (HBR, 2020), pesatnya perkembangan perusahaan rintisan yang bergerak langsung ke konsumen ini awalnya dimungkinkan oleh pemodal ventura yang melimpah, persaingan rendah, serta adanya arbitrase periklanan yang dapat dieksploitasi pada platform media sosial dengan harga relatif rendah.

Namun, saat ini persaingan kian membanjir karena kesuksesan pesat beberapa perusahaan. Akibatnya harga iklan media sosial ikut meningkat, tidak memiliki dasar untuk terus mendapatkan pelanggan dengan nilai yang tepat, dan akhirnya pertumbuhan bisnis melambat. Dengan demikian, harus ada inovasi dan pengembangan baru dari prinsip D2C di masa sebelumnya yang dilakukan oleh para founders. Mari kita pelajari lebih lanjut.

1. Kuasai ekosistem pasar digital dan target konsumen

Tidaklah cukup bagi bisnis untuk hanya berada di internet. Perlu ada strategi terintegrasi dalam ekosistem digital untuk selalu terhubung dengan konsumen. Perusahaan yang melakukan penjualan melalui pengecer grosir memiliki lebih sedikit kontak dengan konsumen mereka. Sementara, ekosistem digital memberi ruang lebih untuk memahami apa yang dibutuhkan konsumen dan cara apa yang mereka inginkan untuk mendapatkan produknya.

Baca juga: Mafia Minyak Goreng Masih Misteri, Kemendag: Bukti Sudah Kami Serahkan, tapi Belum Cukup

2. Distribusi omni channel jadi keharusan

Bisnis D2C saat ini perlu menerapkan strategi distribusi omnichannel. Sebagai contoh, dua perusahaan D2C portofolio Skystar Capital, yaitu BASE dan Mooimom telah menerapkan strategi ini. Kedua perusahaan startup ini memulai bisnis dengan menjual langsung produk mereka ke pelanggan melalui situs mereka saja. Namun, kini mereka juga mendistribusikan produk melalui pasar e-niaga (e-commerce marketplace) ternama lainnya. Tentu, tanpa melupakan identitas jenama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com